Kemarin pagi, saya berdiri di Monumen Panah Hitam di selatan. Sebuah tempat di mana sejarah terasa hidup di tengah debu, di mana beban kejadian setahun lalu masih melekat di udara. Hanya 400 meter dari Gaza, kata mereka. Empat ratus meter—jarak yang bisa didekati anak saya dengan senapan sniper yang dibawanya di punggungnya.

Kepulan asap membubung di kejauhan, membubung ke langit seperti pertanyaan tanpa jawaban. “Itu Jabalya,” kata seseorang. Dadaku sesak, meski aku berusaha menjaga wajahku tetap diam. Jabalya. Di situlah anakku Amee bertarung. Bungsu saya. Anakku.

Apa artinya bagi seorang ayah untuk berdiri begitu dekat dengan anaknya namun merasa semakin jauh dari sebelumnya?

Apa artinya berada di sini, di atas tanah ini, sementara dia ada di sana, melintasi garis yang tak kasat mata itu? Aku setengah mengharapkan sesuatu yang mustahil—peluru lembut yang ditembakkan dari senapan snipernya, membawa pesan yang dapat melintasi jurang di antara kami. Aba, aku di sini. saya baik-baik saja.

Tapi tidak ada pesan yang masuk. Tidak ada sinyal. Hanya keheningan.

Panah Hitam (kredit: DORON HOROWITZ/FLASH90)

Mereka mengatakan kepada kami untuk tidak mengharapkan komunikasi. Mereka bilang lebih baik begini. Saya mencoba mempercayai mereka. Aku mencoba meyakinkan diriku sendiri bahwa tidak ada berita berarti dia aman, bahwa diam adalah semacam kepastian. Namun keheningan tidak membuatku tenang; itu memenuhi saya dengan segala sesuatu yang tidak dapat saya ketahui.

Malam hari adalah saat yang paling sulit. Mereka membentang seperti keabadian, di mana bayangan di dinding terasa seperti ancaman yang tidak dapat Anda hindari. Mimpi retak terbuka seperti kaca saat Anda terbangun, hanya menyisakan pecahan yang cukup tajam hingga mengeluarkan darah. Saya mendapati diri saya berdiri di dapur di tengah malam, memegang meja untuk menjaga keseimbangan, karena, entah bagaimana, dinding rumah ini terasa terlalu rapuh untuk menahan beban yang tidak diketahui.

Aku memikirkan senyuman Amee, caranya mencerahkan seluruh wajahnya, caranya melembutkan tepian tubuhnya yang besar. Raksasaku yang lembut. Kehadirannya memenuhi ruangan, bukan dengan kebisingan melainkan dengan sesuatu yang lebih tenang, sesuatu yang mantap.

Apakah dia memikirkan dengungan rumah? Hal-hal kecil dan biasa yang menjadikannya miliknya? Gemerincing piring yang dia taruh di wastafel setelah memasak sarapan lezat untuk dirinya sendiri? Cara dia bercanda dengan keempat saudara laki-lakinya dan saudara perempuannya, pasangan mereka ikut bergabung, tawa mereka memenuhi setiap sudut rumah? Cara dia menghasilkan sihir dari tangannya untuk keponakan-keponakannya, menciptakan keajaiban kecil yang membuat mereka memekik kegirangan?

Apakah dia memikirkan Vered, ibunya yang cintanya membentuk setiap langkah yang diambilnya? Apakah dia tahu bagaimana dia menunggu di jendela lama setelah dia pergi, menjaga rumah yang terasa lebih kosong tanpa dia?


Tetap update dengan berita terbaru!

Berlangganan Buletin The Jerusalem Post


Aku ingin tahu apa yang dibawanya, anakku. Dia membawa senapannya, perlengkapannya, debu Gaza menempel di sepatu botnya. Tapi itu adalah bebannya yang paling ringan.

Barang-barang yang dibawanya

Dia memikul beban sejarah, beban orang-orang yang telah melakukan pengasingan dan kembali ke tulang belulang mereka selama beberapa generasi. Dia membawa doa-doa seribu tahun, berbisik ke tembok Yerusalem, terbawa angin gurun dan lautan. Dia membawakan suara nenek moyangnya, suara-suara yang dibungkam di Eropa, di kamp-kamp, ​​di ghetto—suara-suara yang kini berseru melalui dirinya.

Dia membawa negeri ini, setiap incinya—keindahannya, bekas lukanya, kemustahilannya. Dia membawa kenangan tentang perbatasan yang dilanggar, tentang api yang membubung di atas kibbutzim, tentang teror yang datang bukan dari jauh melainkan dari seberang ladang.

Dia membawa umatnya. Ia memikul beban sebuah bangsa yang tidak bisa berhenti dan harus selalu berjuang untuk mendapatkan tempatnya di dunia. Dia membawa impian saudara laki-lakinya, saudara perempuannya, keluarganya—impian yang dia lindungi bahkan ketika dia tidak bisa bermimpi untuk dirinya sendiri.

Dia membawa semua ini, dan dia membawanya bukan karena dia memilihnya tetapi karena dia memilihnya. Dan tetap saja, entah bagaimana, dia tetap berdiri. Ia memikulnya dengan kekuatan yang bukan hanya miliknya sendiri namun juga berasal dari orang-orang yang datang sebelum dia, dari generasi-generasi yang tidak pernah berhenti percaya bahwa tanah ini, tanah yang rapuh dan tercinta ini, suatu hari nanti dapat dipertahankan oleh putra-putra mereka.

Saya memikirkan keberaniannya, kekuatannya—bukan hanya keberaniannya, namun juga kekuatan generasinya. Generasi yang kita ragukan, generasi yang kita anggap terganggu oleh layar dan terputus dari tujuan. Betapa salahnya kami. Mereka adalah generasi yang berdiri sekarang, gigih dan heroik dengan cara yang tidak pernah kita bayangkan.

Seorang jenderal yang saya temui baru-baru ini mengatakan kepada saya bahwa dia tidak pernah mengalami ketakutan seperti ini. Dia kehilangan matanya dalam pertempuran beberapa tahun lalu, dan dua tahun lalu, dia kehilangan istrinya karena kanker. Namun tidak ada apa-apa—baik perang, maupun kerugian—yang sebanding dengan ketakutan yang dia rasakan saat ini, menunggu putranya pulang dari Gaza.

Di Black Arrow, saya berdiri hanya 400 meter dari putra saya, namun jaraknya terasa tak terbatas. Jaraknya tidak diukur dalam meter, tapi dalam segala hal aku tidak bisa melindunginya.

Jadi, saya menunggu. saya berdoa. Saya berdoa agar dia merasakan kita bersamanya dan kenangan akan rumah bukanlah beban melainkan sumber kekuatan. Saya berdoa semoga setelah masalah ini selesai, ketika asap sudah hilang dan keheningan mulai hilang, dia akan kembali. Bahwa dia akan duduk di meja sekali lagi, senyumnya menerangi ruangan, kursinya tidak lagi kosong.

Dan saya berdoa untuk setiap orang tua, setiap istri, setiap anak yang menunggu tentaranya pulang. Saya berdoa untuk negara ini yang terus mengirimkan anak-anaknya ke dalam api dan entah bagaimana menemukan kekuatan untuk terus maju. Saya berdoa memohon keberanian untuk menunggu, kekuatan untuk bertahan, dan iman untuk percaya bahwa terang dapat menemukan jalannya kembali melalui kegelapan.





Sumber

Valentina Acca
Valentina Acca is an Entertainment Reporter at Agen BRILink dan BRI, specializing in celebrity news, films and TV Shows. She earned her degree in Journalism and Media from the University of Milan, where she honed her writing and reporting skills. Valentina has covered major entertainment events and conducted interviews with industry professionals, becoming a trusted voice in International media. Her work focuses on the intersection of pop culture and entertainment trends.