Aktris Hollywood Meryl Streep mengkritik Taliban dan pembatasan keras terhadap hak-hak perempuan di Afghanistan sejak diambil alih pada tahun 2021, serta mendesak masyarakat internasional untuk berbuat lebih banyak.
Streep, di suatu acara di sela-sela Sidang Umum PBB pada hari Senin, mengatakan bahwa seekor “kucing memiliki lebih banyak kebebasan” daripada seorang wanita di Kabul.
“Di Kabul, kucing betina kini memiliki lebih banyak kebebasan daripada wanita. Seekor kucing bisa duduk di beranda depan rumahnya dan merasakan sinar matahari di wajahnya. Ia bisa mengejar tupai hingga ke taman,” kata Streep.
“Seekor tupai memiliki hak yang lebih besar daripada seorang gadis di Afghanistan saat ini, karena taman-taman umum telah ditutup untuk wanita dan anak-anak perempuan,” tambahnya.
Streep mengatakan “sangat luar biasa” bahwa seekor burung dapat berkicau di Kabul, tetapi anak perempuan dan wanita tidak dapat melakukannya di depan umum.
Komentarnya muncul sebulan setelah dekrit baru Taliban disahkan yang melarang wanita di Afghanistan memperlihatkan wajah mereka dan berbicara di tempat umum.
Perempuan Afghanistan kini juga menghadapi pembatasan pergerakan tanpa saudara laki-laki, dan diharuskan menutupi tubuh dan wajah mereka dengan kain tebal dan berat saat berada di depan umum. Sekolah menengah untuk anak perempuan tidak ada, dan kebebasan mereka semakin terkikis.
Banyak pihak di komunitas internasional yang mengkritik undang-undang baru yang keras ini, dan menyebut apa yang terjadi di Afghanistan sebagai “apartheid gender.”
Streep menekankan bahwa masyarakat internasional dapat membawa perubahan bagi perempuan di Afghanistan.
“Masyarakat internasional, secara keseluruhan, jika bersatu, dapat membawa perubahan di Afghanistan dan menghentikan penindasan yang perlahan terhadap setengah dari populasi yang dipenjara,” katanya.
Sekretaris Jenderal PBB Antonio Gutierrez, yang juga hadir di acara tersebut, mengatakan bahwa Afghanistan tidak akan pernah mendapatkan tempat yang semestinya di panggung global “tanpa perempuan terdidik, tanpa perempuan yang bekerja, termasuk dalam peran kepemimpinan, dan tanpa mengakui hak dan kebebasan dari separuh penduduknya.”