Di antara isolasi geopolitik dan ambisi global, Rusia telah mengubah sistem pendidikannya menjadi sebuah kekuatan lunak (soft power) yang strategis. Melalui beasiswa yang melimpah dan pendidikan yang kaya akan patriotisme, Moskow tidak hanya melatih siswanya: Moskow juga membentuk sekutu ideologis, meletakkan dasar bagi blok budaya alternatif yang secara terbuka menantang nilai-nilai liberal Barat. Namun strategi ini menyembunyikan pertanyaan yang meresahkan: di mana pendidikan berakhir dan kontrol ideologi dimulai?

Mulai April mendatang, belajar di Rusia akan memiliki arti lebih dari sekedar mendaftar di universitas. Ini akan menjadi ujian sejati kesetiaan budaya. Pemerintahan Vladimir Putin telah mengumumkan penerapan ujian wajib bahasa Rusia bagi semua pelajar asing, juga melibatkan anak-anak imigran. Dmitry Chernyšenko, wakil perdana menteri, mendefinisikan langkah ini sebagai pilar mendasar untuk melatih 500.000 pelajar asing pada tahun 2030. Ambisinya, seperti dilansir AskaNews, adalah memposisikan Rusia sebagai salah satu pusat akademik paling berpengaruh di dunia.

Saat ini, sekitar 380.000 mahasiswa internasional memenuhi universitas-universitas Rusia. Menteri Ilmu Pengetahuan dan Pendidikan Tinggi Valerij Falkov, dalam sebuah wawancara dengan Vedomosti, menyoroti bagaimana angka-angka ini menempatkan Rusia di peringkat keenam di dunia dalam hal kehadiran asing. Namun, di balik angka-angka tersebut terdapat tujuan yang lebih dalam: menciptakan generasi yang tidak hanya berpendidikan, namun juga berakar kuat pada nilai-nilai tradisional Rusia. Dalam pidatonya dilansir AskaNews, Vladimir Putin menyatakan hal itu “Universitas harus melatih kepribadian yang patriotik dan bertanggung jawab secara sosial”memasukkan tujuan ini ke dalam sepuluh proyek nasional prioritas.

Untuk mewujudkan visi ini, Kremlin telah memperkenalkan kursus persiapan bahasa dan budaya Rusia, yang dibiayai oleh beasiswa negara. Pusat Sains dan Kebudayaan Rusia di Roma menggarisbawahi, dalam sebuah pernyataan, bahwa program-program ini tidak hanya mengisi kesenjangan linguistik, namun juga membenamkan siswa dalam dunia nilai-nilai tradisional. Portal resmi education-in-russia.com merinci beasiswa tersebut, yang sepenuhnya menanggung biaya universitas dan akomodasi, sementara biaya seperti perjalanan dan asuransi kesehatan harus ditanggung oleh siswa.

Peluang atau jebakan? Ini adalah pertanyaan yang ditanyakan banyak analis pada diri mereka sendiri. Meskipun pendidikan gratis merupakan pintu gerbang menuju pendidikan tingkat tinggi, terdapat bahaya bahwa pendidikan gratis akan menjadi alat untuk menanamkan narasi politik dan budaya yang mengagungkan model Rusia.

Ilmuwan politik Aleksandr Nemtsev, dalam wawancaranya baru-baru ini dengan Vedomosti, menggarisbawahi bagaimana Kremlin menggunakan pendidikan untuk mempromosikan patriotisme yang mengikat. “Rasa memiliki tidak boleh dipaksakan dengan kriteria yang kaku, jika tidak maka akan ada risiko mengubah ide ambisius menjadi sistem kontrol”.

Universitas-universitas di Rusia bukan sekadar institusi akademis, namun merupakan laboratorium soft power yang sesungguhnya. Melalui program sukarelawan dan inisiatif budaya, Moskow bertujuan untuk mengkonsolidasikan citranya sebagai pemimpin global. Vedomosti mengungkapkan bahwa, pada tahun 2030, 45% pelajar Rusia dan asing akan terlibat dalam kegiatan sukarela, sehingga memperkuat rasa memiliki dalam komunitas yang bersatu.

Soft power, yang dicetuskan oleh ilmuwan politik Amerika Joseph Nye pada tahun 1990an, bertujuan untuk memberikan pengaruh tanpa menggunakan paksaan. Rusia memberikan interpretasi baru, menjadikan pendidikan sebagai senjata geopolitik untuk menantang nilai-nilai liberal Barat. Namun, menundukkan pendidikan pada kesesuaian ideologi berisiko menghambat pemikiran kritis dan menjadikan universitas sebagai alat legitimasi politik.

Dalam konteks yang ditandai oleh ketegangan geopolitik dan isolasi internasional, sistem pendidikan Rusia menampilkan dirinya sebagai alat yang ambivalen: jembatan budaya yang menarik ribuan pelajar asing, namun juga sebagai sarana propaganda politik. Tantangan sebenarnya saat ini adalah memahami apakah universitas-universitas ini dapat berkembang dari laboratorium yang sesuai dengan ideologi menjadi sarang pemikiran kritis. Dunia sedang mengamati: akankah Rusia mendiktekan peraturan baru, atau akankah pendidikan mendobrak batasannya sendiri?



Sumber

Patriot Galugu
Patriot Galugu is a highly respected News Editor-in-Chief with a Patrianto Galugu completed his Bachelor’s degree in Business – Accounting at Duta Wacana Christian University Yogyakarta in 2015 and has more than 8 years of experience reporting and editing in major newsrooms across the globe. Known for sharp editorial leadership, Patriot Galugu has managed teams covering critical events worldwide. His research with a colleague entitled “Institutional Environment and Audit Opinion” received the “Best Paper” award at the VII Economic Research Symposium in 2016 in Surabaya.