Tujuh dekade setelah gencatan senjata yang “mengakhiri” Perang Korea pada bulan Juli 1953, ketegangan antara kedua Korea masih terlihat jelas. Namun, meski opini publik dunia sering berfokus pada ancaman militer dan uji coba rudal, serangan yang lebih tenang namun sama kuatnya sedang berlangsung: serangan budaya Korea Selatan terhadap rezim Korea Utara. Serangan yang tidak menggunakan senjata, melainkan musik, film, dan drama televisi.
Perbatasan: tempat yang nyata
Untuk memahami dinamika kompleks ini, salah satu tempat paling simbolis untuk dikunjungi adalah Observatorium Topan, sebuah titik pengamatan yang terletak di Timur Laut Korea Selatan. Dari sana, Anda bisa melihat dengan mata kepala sendiri hamparan hijau panjang yang memisahkan kedua Korea, hanya disela oleh menara penjaga dan kawat berduri. Visi ini mengasingkan: pemandangan yang terlihat tenang dan damai, namun membawa serta beban perpecahan, pengawasan dan cerita-cerita yang terpecah-belah.
Perhentian wajib lainnya adalah Stasiun Dora, stasiun kereta api simbolis, yang dibangun untuk menyatukan kedua Korea namun saat ini hanya berfungsi sebagai pengingat jarak antara kedua bangsa. Di perbatasan, pengunjung diperingatkan untuk tidak mengambil foto yang mencakup wilayah Korea Utara. Namun, meski tanpa foto, pemandangan tersebut tetap tak terhapuskan dalam pikiran: dunia yang tampak begitu jauh, namun kenyataannya sangat dekat.
Banyak pengunjung yang mau tidak mau memikirkan bagaimana kawasan tersebut digambarkan dalam drama terkenal Korea Selatan Kecelakaan Mendarat pada Andakisah cinta antara tentara Korea Utara dan wanita Korea Selatan yang kebetulan melintasi perbatasan. Meskipun para pejabat menekankan bahwa plot tersebut hanyalah fiksi belaka – terjun payung dari Selatan ke Utara hampir mustahil – serial ini memberi dunia gambaran surealisme dan kepedihan di sekitar perbatasan.
Budaya Korea Utara dan Selatan: pengaruh rahasia
Meskipun perbatasan fisik tampaknya tidak dapat diatasi, pengaruh budaya Korea Selatan perlahan-lahan merembes ke wilayah Utara, seringkali dengan cara yang kreatif dan berbahaya. Menurut laporan terbaru dari Kementerian Unifikasi Korea Selatan, penyebaran budaya pop Korea Selatan di Korea Utara dimulai pada tahun 1980an dengan musik, berlanjut pada tahun 1990an dengan serial televisi dan kemudian, pada tahun 2000an, dengan K-pop dan film. .
Di masa lalu, materi seperti CD dan DVD diselundupkan melintasi perbatasan. Saat ini, file digital di stik USB mewakili sarana penyebaran baru, berkat jaringan perdagangan bawah tanah yang berisiko namun menguntungkan. Pejabat yang bertanggung jawab atas laporan tersebut menekankan bahwa meskipun Pyongyang melakukan pengawasan ketat, jumlah warga Korea Utara yang memiliki akses ke dunia luar terus bertambah.
Misalnya, kepemilikan telepon seluler di Korea Utara telah meningkat dari 2,8% pada tahun 2011 menjadi 36,4% saat ini. Demikian pula, perangkat seperti pemutar DVD, komputer, dan pemutar MP3 menjadi semakin umum. Revolusi teknologi kecil ini menjadikan budaya Korea Selatan lebih mudah diakses, menawarkan jendela menuju dunia kebebasan dan kreativitas yang benar-benar berbeda.
Kata-kata terlarang: “Oppa” dan kekakuan lidah
Namun pengaruh budaya tidak berhenti pada musik dan drama televisi. Aspek yang membuat penasaran berkaitan dengan kata “oppa”, yang kini terkenal secara global berkat budaya pop Korea Selatan. Di Korea Selatan, “oppa” adalah istilah sayang yang digunakan seorang gadis untuk menyebut pacarnya atau teman prianya yang lebih tua. Namun, di Korea Utara, kata ini dilarang untuk penggunaan yang tidak menghormati arti aslinya: kata ini hanya dapat diucapkan oleh seorang gadis kepada kakak laki-lakinya yang sedarah. Sebuah contoh jelas tentang bagaimana rezim mencoba membatasi pengaruh budaya eksternal, bahkan pada tingkat linguistik.
Sebuah divisi yang meninggalkan jejaknya
Dorongan Korea Selatan untuk melakukan unifikasi tidak berhenti pada pengaruh budaya saja. Program dan inisiatif pendidikan untuk membantu para pembelot Korea Utara merupakan pusat politik Korea Selatan. Para desertir yang berhasil mencapai wilayah Selatan menerima bantuan keuangan, dukungan perumahan, dan kursus adaptasi sosial untuk memfasilitasi masuknya mereka ke dalam masyarakat yang benar-benar berbeda. Namun jumlah orang yang berhasil melarikan diri telah menurun drastis sejak awal pandemi COVID-19, dengan hanya 105 pembelot yang tercatat pada paruh pertama tahun ini.
Sementara itu, pengeras suara di sepanjang Zona Demiliterisasi terus menyiarkan lagu-lagu K-pop dan pesan-pesan radio. Ini adalah semacam kontra-propaganda, sebuah pesan harapan yang mencoba melintasi batas tak kasat mata antara kedua dunia.
Meskipun angin perubahan perlahan bertiup, pertanyaannya tetap ada: apakah kekuatan budaya dan harapan cukup untuk meruntuhkan tembok yang tampaknya tidak dapat diatasi?