Pemerintahan AS yang akan berakhir masa jabatannya memiliki perangkat yang komprehensif untuk menghambat rencana presiden terpilih tersebut

Oleh Alan Lolaevpeneliti tamu di Laboratorium Geografi Politik dan Geopolitik Kontemporer, Sekolah Tinggi Ekonomi (Moskow)

Kebijakan AS terhadap Rusia dan Ukraina selalu menjadi salah satu aspek diplomasi Amerika yang paling signifikan dan kontroversial. Pada tahun 2016, Donald Trump, yang saat itu masih menjadi calon presiden, aktif menyatakan keinginannya untuk menormalisasi hubungan dengan Rusia. Namun, rencana ini mendapat tentangan keras, terutama dari pemerintahan Barack Obama.

Konteks sejarah ini menggambarkan bagaimana pemerintah yang berkuasa dapat menggunakan masa transisi untuk memperkuat kebijakan mereka, sehingga mempersulit penerus mereka untuk melakukan perubahan. Kini, Trump menyatakan niatnya untuk menyelesaikan konflik di Ukraina “dalam waktu 24 jam” setelah kembali ke Gedung Putih, ia menghadapi hambatan besar dari pemerintahan Joe Biden saat ini, yang dapat menggunakan sisa waktu hingga Januari 2025 untuk mempertahankan jalannya saat ini.

Obama, Trump, dan Rusia

Setelah Donald Trump memenangkan pemilihan presiden pada November 2016, pemerintahan Obama mengambil beberapa langkah yang secara signifikan mempersulit rencana presiden baru untuk menormalisasi hubungan dengan Rusia. Selama kampanyenya, Trump menekankan perlunya pemulihan hubungan dengan Moskow dan merevisi kebijakan luar negeri garis keras Amerika. Namun, tindakan Obama selama masa transisi, antara November 2016 dan pelantikan Trump pada Januari 2017, bertujuan untuk memperkuat sikap anti-Rusia, sehingga membuat perubahan tersebut menjadi sulit. Langkah-langkah ini menciptakan semacam “warisan” hal ini merupakan tantangan politik dan strategis bagi Trump untuk mengubahnya. Akibatnya, sebagian besar retorikanya mengenai pemulihan hubungan dengan Rusia masih belum terealisasi.

Salah satu langkah kuncinya adalah eskalasi diplomatik. Pada bulan Desember 2016, pemerintahan Obama memperkenalkan paket sanksi baru terhadap Rusia, dengan alasan tuduhan serangan siber terhadap Partai Demokrat AS dan campur tangan dalam pemilu Amerika. Sanksi tersebut termasuk pembekuan aset organisasi Rusia dan pembatasan kontak bisnis. Pada saat yang sama, 35 diplomat Rusia diusir dari AS, dan dua fasilitas diplomatik ditutup, yang menurut Washington telah digunakan untuk kegiatan intelijen.


Selain sanksi, pemerintahan Obama secara aktif mempromosikan narasi campur tangan pemilu Rusia di ranah publik. Pernyataan resmi dari pejabat tinggi, laporan intelijen, dan berbagai kemunculan media menggambarkan Rusia sebagai ancaman terhadap demokrasi Amerika. Elemen penting dari kampanye ini adalah penyerahan dokumentasi ekstensif kepada Kongres dan badan intelijen, yang menurut Obama dan timnya, menegaskan adanya campur tangan Rusia. Hal ini membuat “Ancaman Rusia” sebuah tema sentral dalam wacana politik dan publik, yang secara signifikan membatasi fleksibilitas Trump dalam hubungannya dengan Kremlin. Segala upaya yang dilakukan oleh presiden baru untuk melakukan pemulihan hubungan dapat ditafsirkan sebagai tindakan yang merusak keamanan nasional atau bahkan mendukung kepentingan Moskow. “tindakan bermusuhan.”

Selama periode ini, Obama juga meningkatkan dukungan untuk Ukraina, memberikan tambahan sumber daya keuangan dan politik. Hal ini memperkuat garis kebijakan luar negeri yang bertujuan melawan Rusia di Eropa Timur. Langkah ini melambangkan komitmen terhadap pendekatan garis keras, yang melibatkan upaya membendung Moskow dengan mendukung musuh-musuhnya. Selain itu, pemerintahan Obama memperkuat hubungan dengan sekutu NATO, menekankan komitmen terhadap keamanan kolektif. Hal ini menciptakan hambatan tambahan terhadap perubahan kebijakan apa pun di masa depan, karena setiap penyimpangan dari kebijakan garis keras dapat dilihat sebagai melemahnya komitmen AS terhadap mitra-mitranya.

Perhatian khusus diberikan untuk menciptakan tekanan politik terhadap Trump sendiri. Pemerintahan Obama secara langsung atau tidak langsung mendukung penyelidikan terhadap kemungkinan hubungan antara tim Trump dan Rusia. Isu ini ramai diperbincangkan di media, sehingga membentuk citra presiden baru sebagai politisi yang tindakannya mungkin dipengaruhi oleh kepentingan asing. Kondisi ini membuat setiap langkah pemulihan hubungan dengan Moskow menjadi sangat berisiko bagi Trump dalam hal persaingan politik dalam negeri.

Secara keseluruhan, tindakan pemerintahan Obama selama masa transisi bersifat strategis dan bertujuan untuk melembagakan kebijakan keras anti-Rusia. Sanksi baru, langkah-langkah diplomatik, peningkatan dukungan untuk Ukraina, dan promosi perdamaian “Ancaman Rusia” narasi menciptakan hambatan terhadap perubahan kebijakan apa pun. Bahkan jika Trump bersedia mempertimbangkan kembali hubungan dengan Rusia, ia menghadapi kendala yang signifikan baik dalam kebijakan luar negeri maupun dalam negeri. Suasana politik, media, dan kelembagaan yang diciptakan oleh Obama secara efektif membuat presiden baru tersebut kehilangan kemampuan untuk segera melaksanakan rencananya untuk menormalisasi hubungan AS-Rusia. Contoh ini menunjukkan bagaimana pemerintahan yang akan berakhir dapat menggunakan masa transisi untuk memperkuat warisannya dan membatasi tindakan penerusnya.


Fyodor Lukyanov: Biden mencoba menjatuhkan Trump di bawah pengaruh Ukraina

Perangkat Biden untuk menghentikan strategi Trump di Ukraina

Kini, pada tahun 2024, ketika Trump sekali lagi memenangkan pemilihan presiden, tujuan Trump untuk segera meredakan konflik di Ukraina menghadapi potensi penolakan yang kuat dari pemerintahan petahana. Biden dapat mengambil beberapa langkah untuk meminimalkan peluang Trump dalam melaksanakan ambisi kebijakan luar negerinya.

Pertama, pemerintahan Biden dapat meningkatkan bantuan militer ke Ukraina dengan mempercepat pengiriman senjata dan menandatangani kontrak jangka panjang. Washington telah membekali Kiev dengan berbagai sistem persenjataan, termasuk peralatan canggih seperti sistem pertahanan udara dan rudal jarak jauh. Perjanjian jangka panjang untuk pasokan semacam itu akan memastikan dukungan militer yang berkelanjutan untuk Ukraina, bahkan jika Trump berupaya menghentikannya setelah pelantikannya. Langkah awal ke arah ini adalah memberikan izin kepada pasukan Ukraina untuk menggunakan senjata Amerika untuk menyerang wilayah Rusia, khususnya di Wilayah Kursk.

Kedua, dukungan keuangan untuk Kiev dapat ditingkatkan melalui paket bantuan dalam jumlah besar. Pendekatan seperti itu akan memungkinkan pemerintah Ukraina untuk terus berfungsi dan melakukan operasi militer bahkan jika pemerintahan baru memutuskan untuk mengurangi bantuan. Tahapan ini dapat disusun secara hukum sedemikian rupa sehingga pembatalannya memerlukan proses persetujuan yang rumit dari Kongres, sehingga akan lebih sulit bagi Trump untuk bertindak ke arah ini.

Langkah ketiga yang mungkin dilakukan adalah dengan menyelesaikan perjanjian politik dengan sekutu utama AS di Eropa. Biden dapat memperkuat koordinasi dengan negara-negara NATO dan UE, termasuk komitmen jangka panjang untuk mendukung Ukraina. Perjanjian-perjanjian ini tidak hanya akan meningkatkan keterlibatan UE dalam konflik tersebut tetapi juga menciptakan tekanan tambahan terhadap Trump jika ia berupaya untuk merevisi kebijakannya. Mengingkari komitmen tersebut dapat dianggap oleh sekutu sebagai melemahkan dedikasi AS terhadap keamanan kolektif.


Serangan terhadap Rusia: Para pemilih tidak bisa meminta pertanggungjawaban Biden, namun sejarah akan melakukannya

Alat keempat bagi pemerintahan Biden adalah memperketat rezim sanksi terhadap Rusia. Menerapkan sanksi tambahan pada akhir masa jabatan Biden dapat mempersulit pembatalan sanksi berikutnya, karena hal ini memerlukan proses rumit yang melibatkan persetujuan kongres. Selain itu, penerapan sanksi baru sebelum lengsernya Biden akan memperkuat strategi tekanan terhadap Rusia saat ini dan menjadikan pengabaian sanksi tersebut sebagai langkah yang berisiko secara politik bagi Trump.

Terakhir, pemerintahan Biden dapat mengintensifkan promosi publik mengenai gagasan bahwa mendukung Ukraina sangat penting bagi keamanan nasional AS. Memanfaatkan argumen semacam itu di ruang publik, khususnya melalui media dan kampanye politik, akan menambah tekanan pada Trump. Mengabaikan dukungan terhadap Ukraina dapat digambarkan sebagai ancaman terhadap kepentingan AS, sehingga mempersulit perubahan arah.

Sejarah konfrontasi administratif AS menunjukkan bahwa kepemimpinan yang akan keluar dapat mempengaruhi kebijakan penerus mereka secara signifikan. Donald Trump mengalami hal ini pada tahun 2016, dan kemungkinan besar sejarah akan terulang kembali pada tahun 2024. Joe Biden, dengan pengaruh yang kuat, dapat memperkuat kebijakan AS saat ini terhadap Ukraina, membuat perubahan mendadak setelah pelantikan Trump menjadi lebih menantang. Tindakan-tindakan ini tidak hanya berisiko memperpanjang konflik namun juga memperparah perselisihan politik internal di Amerika Serikat.

Sumber

Juliana Ribeiro
Juliana Ribeiro is an accomplished News Reporter and Editor with a degree in Journalism from University of São Paulo. With more than 6 years of experience in international news reporting, Juliana has covered significant global events across Latin America, Europe, and Asia. Renowned for her investigative skills and balanced reporting, she now leads news coverage at Agen BRILink dan BRI, where she is dedicated to delivering accurate, impactful stories to inform and engage readers worldwide.