Di era digital, di mana misinformasi menyebar dengan cepat, kecerdasan buatan telah muncul sebagai solusi potensial untuk melawan teori konspirasi.

Salah satu contohnya adalah “MembongkarBotBahasa Indonesia: chatbot AI yang dirancang untuk melibatkan pengguna yang percaya pada teori konspirasi. Sebuah studi baru-baru ini yang diterbitkan dalam jurnal Sains menunjukkan hasil yang mengesankan: Setelah percakapan singkat dengan bot, keyakinan peserta terhadap teori konspirasi menurun hingga 20 persen, dengan sekitar seperempat dari mereka meninggalkan keyakinan tersebut sepenuhnya. Selain itu, efek ini bertahan bahkan dua bulan kemudian, yang menunjukkan bahwa AI dapat memberikan solusi jangka panjang dalam menantang misinformasi.

Seperti yang dikatakan oleh Gordon Pennycook, salah satu penulis studi tersebut, “Karya ini mengubah banyak cara berpikir kita tentang konspirasi.,” menantang kepercayaan lama bahwa teori konspirasi tidak dapat dibantah melalui fakta dan logika semata karena disonansi kognitif — ketidaknyamanan yang dirasakan orang ketika dihadapkan dengan informasi yang bertentangan dengan keyakinan mereka yang kuat. DebunkBot tampaknya dapat melewati penghalang ini.

Namun, keberhasilan DebunkBot sebagian besar disebabkan oleh kemampuannya untuk memberikan tanggapan yang disesuaikan dan berdasarkan fakta terhadap masalah spesifik pengguna, alih-alih mengandalkan strategi sanggahan generik. Keterlibatan yang dipersonalisasi ini memungkinkan bot untuk menanggapi keyakinan unik setiap pengguna, mengatasi bias kognitif seperti bias konfirmasi, yang sering memicu teori konspirasi.

Meskipun hasil ini menjanjikan, namun juga menimbulkan pertanyaan yang lebih luas: Dapatkah AI sendiri benar-benar memerangi teori konspirasi di dunia yang semakin dicirikan oleh ketidakpercayaan terhadap lembaga dan sumber informasi tradisional? Brendan Nyhan, seorang peneliti misinformasi di Dartmouth College, menyoroti masalah kritis: “Anda dapat membayangkan dunia di mana informasi AI dilihat seperti media arus utama terlihat” — dengan skeptisisme dan ketidakpercayaan yang meluas. Jika AI dipandang hanya sebagai alat elit atau perusahaan teknologi, AI mungkin gagal mendapatkan kepercayaan dari mereka yang ingin dibantunya, terutama dalam konteks di mana banyak penganut teori konspirasi sudah menyimpan ketidakpercayaan yang mendalam terhadap media dan lembaga tradisional.

Terry Flew, seorang profesor komunikasi dan budaya digital di Departemen Media dan Komunikasi di Universitas Sydney, menyatakan bahwa erosi kepercayaan di media berita dan elit politik telah menjadi faktor penting dalam kebangkitan populisme dan teori konspirasi. Ia menekankan bahwa misinformasi berkembang pesat di lingkungan yang penuh ketidakpercayaan. Dalam konteks ini, intervensi AI seperti DebunkBot harus menjadi bagian dari upaya yang lebih besar untuk membangun kembali kepercayaan, bukan hanya memberikan koreksi fakta.

Flew menyoroti krisis kepercayaan global dalam lembaga politik, sosial, dan media, serta menguraikan tiga tingkat kepercayaan yang saling terkait: makro (masyarakat), meso (kelembagaan), dan mikro (antarpribadi). Kerangka kerja ini penting ketika mempertimbangkan peran AI dalam memerangi teori konspirasi karena AI berfungsi di persimpangan tingkat-tingkat ini — menyediakan koreksi faktual (mikro), bekerja dalam platform tepercaya (meso), dan memengaruhi keyakinan masyarakat yang lebih luas (makro). Flew menyimpulkan bahwa intervensi AI harus mengatasi defisit kepercayaan yang lebih luas ini di masyarakat agar benar-benar efektif.

Demikian pula diPsikologi Teori Konspirasiprofesor psikologi sosial Karen M. Douglas menjelaskan bahwa ketika orang merasa tidak memiliki agensi, mereka menganggap penjelasan sederhana yang ditawarkan oleh teori konspirasi menarik. Kebutuhan psikologis ini mempersulit upaya untuk menyanggah keyakinan ini hanya dengan fakta, karena bias kognitif seperti bias konfirmasi semakin memperkuat pemikiran konspirasi. Baik Flew maupun Douglas menyoroti bahwa teori konspirasi berkembang pesat ketika individu merasa terputus dari elit institusional dan penjaga gerbang media.

Tantangan bagi intervensi AI, seperti yang dicatat oleh profesor MIT David Rand, adalah memastikan intervensi tersebut sesuai dengan keinginan pengguna sekaligus tetap transparan, netral, dan berlandaskan pada informasi yang akurat. Hal ini sangat penting di era di mana kepercayaan terhadap media tradisional telah menurun, dan media sosial telah menjadi lahan subur bagi teori konspirasi.

Penelitian tentang kepercayaan sosialmenunjukkan bahwa orang cenderung lebih memercayai lembaga—dan dengan kata lain, sistem AI—ketika lembaga tersebut dianggap transparan, bertanggung jawab, dan bekerja untuk kepentingan publik. Sebaliknya, jika lembaga atau perangkat AI dianggap tidak transparan atau manipulatif, kepercayaan akan terkikis. Agar perangkat seperti DebunkBot tetap efektif, perangkat tersebut harus secara konsisten menunjukkan netralitas dan keadilan. Pembuat kebijakan, pengembang, dan teknolog harus bekerja sama untuk memastikan sistem AI dianggap sebagai peserta yang dapat dipercaya dalam melawan misinformasi.

Meskipun DebunkBot menunjukkan hasil yang menjanjikan, tantangan tetap ada. Intervensi AI perlu mencapai keseimbangan antara persuasif dan menjaga kepercayaan pengguna. Mengintegrasikan AI ke dalam platform sehari-hari, seperti media sosial atau perawatan kesehatan, tempat teori konspirasi sering beredar, dapat meningkatkan efektivitas. Misalnya, AI dapat digunakan di kantor dokter untuk membantah mitos tentang vaksin atau di forum daring tempat misinformasi menyebar dengan cepat.

Keberhasilan jangka panjang AI dalam memerangi teori konspirasi akan membutuhkan lebih dari sekadar inovasi teknologi. Kepercayaan, faktor psikologis, dan persepsi publik akan memainkan peran penting dalam menentukan apakah AI dapat memberikan dampak yang bertahan lama. Seperti yang ditekankan Flew, membangun kembali kepercayaan pada media, lembaga, dan ekosistem informasi yang lebih luas sangat penting agar solusi apa pun berhasil. Alat AI seperti DebunkBot dapat memainkan peran penting dalam menyediakan intervensi yang dipersonalisasi dan berbasis fakta, tetapi alat tersebut harus menjadi bagian dari strategi yang lebih besar yang melibatkan komunikasi yang transparan, kolaborasi antara pembuat kebijakan dan pengembang, serta upaya untuk mengatasi defisit kepercayaan masyarakat yang lebih luas.

Pari Esfandiariadalah salah satu pendiri dan presiden Global TechnoPolitics Forum, anggota komite penasihat umum di ICANN yang mewakili kawasan Eropa, dan anggota dewan penasihat APCO Worldwide.