REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Pemerintah Indonesia baru-baru ini mengumumkan rencana ambisius untuk memanfaatkan 20 juta hektar hutan sebagai cadangan pangan dan energi. Langkah tersebut menuai kritik tajam dari berbagai kalangan, termasuk aktivis lingkungan hidup dan masyarakat sipil, yang menilai kebijakan ini berpotensi menimbulkan permasalahan serius bagi kelestarian lingkungan dan hak-hak masyarakat.

Manajer Kampanye Bioenergi Trend Asia Amalya Reza Oktaviani mengatakan, berdasarkan analisis Trend Asia, pembukaan hutan seluas 20 juta hektar dapat menghasilkan 4,9 miliar ton emisi karbon. “Jadi kalau dihitung emisinya dari 20 juta hektar, kita lihat 38 persen. Nah, angka 38 persen itu dari mana? Kita sebenarnya melihat sejarah PBPH atau Izin Usaha Pemanfaatan Hutan yang ada sampai tahun 2021, itu ternyata deforestasinya sekitar 38 persen dari luas PBPH yang ada sampai tahun 2021. Nah kalau pakai cara itu kita lihat 38 persen dari 20 juta hektar itu sekitar 7,6 juta hektar dan kami “menghitung dengan metode kami menghasilkan potensi emisi karbon sebesar 4,9 miliar ton,” kata Amalya dalam konferensi pers di Jakarta, Senin (20/1/2025).

Amalya menjelaskan, berdasarkan data Rencana Strategis Kementerian LHK tahun 2020-2024, luas hutan Indonesia seluas 120 juta hektar. Namun baru 89,1 juta hektar yang telah ditetapkan. Artinya, masih ada sekitar 36 juta hektare lagi yang belum diperuntukkan. Artinya masih ada ketidakpastian di sana, ujarnya.

Amalya menambahkan, dalam renstra Kementerian Lingkungan Hidup disebutkan kondisi harus dipastikan sebelum izin dikeluarkan. “Jadi sebenarnya kalau batasnya belum selesai, izin atas kawasan itu tidak boleh dikeluarkan,” tegasnya.

Lebih lanjut ia menjelaskan, berdasarkan rencana strategis Kementerian Lingkungan Hidup, izin kawasan harus mendapat pengakuan dari masyarakat dan bebas dari hak pihak ketiga yang artinya harus bebas konflik. “Tetapi tanpa terlebih dahulu menyelesaikan ambang batas 36 juta hektar, maka pemerintah rezim saat ini mengeluarkan program terkait 20 juta hektar hutan untuk cadangan pangan dan energi,” ujarnya.

Kekhawatiran ini semakin mendalam ketika ia mengetahui bahwa hutan lindung masuk dalam rencana 20 juta hektar. Awalnya, kata Amalya, Trend Asia berasumsi 20 juta hektare hutan akan diambil dari kawasan tidak aktif PBPH. “Tapi ternyata tidak, ternyata hutan lindung, itu yang mengejutkan, karena sebenarnya hutan lindung itu fungsi lindungnya, tidak kemudian dijadikan perkebunan,” imbuhnya.

Jika ditelaah lebih mendalam, Amalya menyoroti Pulau Kalimantan dan Papua karena kedua wilayah tersebut masih memiliki hutan yang sangat luas dan memiliki wilayah PBPH terbanyak. Ia mencatat Kalimantan Tengah luasnya 4,3 juta hektar, Kalimantan Timur 4 juta hektar, dan Papua Barat 2,3 juta hektar.

“Di Papua masih banyak izin yang belum dibebani izin, jadi bisa jadi 15,5 hektar kawasan hutan yang belum keluar izin itu akan berlaku banyak di Papua, termasuk yang terjadi sekarang ya 2 juta. hektar untuk perkebunan makanan Marauke,” katanya.

Kekhawatiran tentang penggundulan hutan juga merupakan sorotan utama. “Deforestasi, ini juga salah kaprah yang sebenarnya harus kita lawan, karena pemerintah menyebutnya deforestasi legal, jadi tidak masalah jika kita melakukan deforestasi, padahal kita sudah melakukannya. TIDAK punya (kuota deforestasi),” ujarnya.

Ia menegaskan, kuota deforestasi di Indonesia sangat terbatas, namun praktik tersebut masih terus terjadi. Amalya menjelaskan, potensi deforestasi dari rencana pembukaan lahan seluas 20 juta hektar sangat besar.

Dia juga menyoroti bahwa rencana ini bertabrakan kedaulatan pangan digerakkan oleh masyarakat adat. Sedangkan (rencana ini) terbentur dengan kedaulatan pangan yang sebenarnya didorong oleh masyarakat adat, ujarnya.

Amalya mengajak semua pihak mengkaji rencana ini secara kritis. Ia mencatat, hutan sebagai cadangan pangan dan energi sudah tercantum dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 23 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Kehutanan. “Tetapi dikatakan bahwa hal ini untuk ketahanan pangan dan energi, bukan swasembada pangan,” katanya.

Lebih lanjut dia menjelaskan, rencana tersebut tidak hanya melanggar prinsip keberlanjutan, tetapi juga berpotensi merugikan masyarakat dan melanggar peraturan. “Kalau 20,6 juta hektare ini kemudian diberikan kepada korporasi, itu melanggar rencana strategis (Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan) sebelumnya,” ujarnya.




Sumber

Alexander Rossi
Alexander Rossi is the Creator and Editor for Gadget & Teknologi with a degree in Information Technology from the University of California, Berkeley. With over 11 years of experience in technology journalism, Alexander has covered cutting-edge innovations, product reviews, and digital trends globally. He has contributed to top tech outlets, providing expert analysis on gadgets and tech developments. Currently at Agen BRILink dan BRI, Alexander leads content creation and editorial strategy, delivering comprehensive and engaging technology insights.