REPUBLIKA.CO.ID,LONDON — Korporasi minyak dan gas Perusahaan-perusahaan besar Eropa memilih untuk memfokuskan kembali pada minyak dan gas sepanjang tahun 2024. ExxonMobil, Chevron dan bahkan BP membatalkan beberapa rencana investasi mereka pada proyek energi ramah lingkungan.

Melaporkan dari Reuters, langkah perusahaan migas ini diperkirakan akan terus berlanjut hingga tahun 2025.

Perubahan strategi ini terjadi di tengah perlambatan kebijakan energi ramah lingkungan secara global dan penundaan target iklim akibat lonjakan biaya energi pasca invasi Rusia ke Ukraina pada tahun 2022.

Investasi perusahaan migas sepanjang tahun 2024 nampaknya fokus pada migas dibandingkan proyek energi bersih. Saham perusahaan seperti ExxonMobil dan Chevron memiliki kinerja yang lebih baik dibandingkan saham BP dan Shell, yang sebelumnya banyak berinvestasi di sektor energi ramah lingkungan.

Pada tahun 2024, BP mengumumkan rencana untuk memindahkan sebagian besar proyek pembangkit listrik tenaga angin lepas pantainya ke perusahaan patungan dengan perusahaan Jepang JERA. Sementara itu, Shell menghentikan sebagian besar investasi pada proyek pembangkit listrik tenaga angin lepas pantai dan melemahkan target pengurangan karbonnya.

Equinor, perusahaan energi milik negara Norwegia, juga mengambil langkah serupa dengan mengurangi belanja modal untuk energi terbarukan.

Menurut analis Accela Research, Rohan Bowater, gangguan geopolitik seperti invasi Ukraina dan tingginya harga minyak telah mengurangi insentif bagi CEO perusahaan energi untuk memprioritaskan transisi energi rendah karbon. Data menunjukkan BP, Shell dan Equinor telah mengurangi pengeluaran untuk energi rendah karbon sebesar 8% pada tahun 2024.

Meski demikian, Shell menyatakan tetap berkomitmen untuk menjadi perusahaan bersama emisi net zero pada tahun 2050 dan akan terus berinvestasi dalam transisi energi. Sementara itu, Equinor menyoroti tantangan seperti inflasi, kenaikan biaya, dan kendala rantai pasokan sebagai alasan perlambatan investasi mereka.

Tahun 2025 diprediksi menjadi tahun yang penuh gejolak bagi sektor energi global senilai 3 triliun dolar AS. Potensi kembalinya Donald Trump ke Gedung Putih menimbulkan kekhawatiran mengenai pembatalan kebijakan energi hijau yang telah diterapkan Presiden Joe Biden. Trump juga berjanji akan menarik AS dari komitmen iklim global.

Sementara itu, permintaan minyak di Tiongkok—pengimpor minyak mentah terbesar di dunia—menghadapi risiko melambat seiring dengan stagnasi perekonomian.

Di sisi lain, OPEC dan sekutunya terus menunda pencabutan pembatasan pasokan minyak, sementara negara-negara seperti AS meningkatkan produksi minyaknya.

Perubahan arah strategi energi global ini menunjukkan bahwa transisi menuju energi ramah lingkungan masih memerlukan dorongan politik yang kuat, komitmen jangka panjang, dan stabilitas perekonomian global.




Sumber

Alexander Rossi
Alexander Rossi is the Creator and Editor for Gadget & Teknologi with a degree in Information Technology from the University of California, Berkeley. With over 11 years of experience in technology journalism, Alexander has covered cutting-edge innovations, product reviews, and digital trends globally. He has contributed to top tech outlets, providing expert analysis on gadgets and tech developments. Currently at Agen BRILink dan BRI, Alexander leads content creation and editorial strategy, delivering comprehensive and engaging technology insights.