Bagaimana lembaga keagamaan, yang misi utamanya adalah memajukan spiritualitas, etika dan keadilan, terkadang menjadi sarana untuk memperoleh keuntungan ekonomi dan bahkan melakukan kejahatan finansial dan moneter?
Surat kabar Etemad menulis: Kisah pembangunan masjid di Taman Qaitariya, dengan tujuan yang tampaknya spiritual, tidak hanya memiliki awal yang kontroversial, tetapi kini kembali menjadi kontroversial dengan diumumkannya akhir proyek tersebut.
Nasser Amani, anggota dewan kota Teheran, mengumumkan berakhirnya proyek tersebut dengan mengatakan bahwa “dermawan pembangunan Masjid Taman Qaitariya mengumumkan bahwa tidak akan efektif biaya baginya untuk membangun masjid dalam jarak 200 meter, jadi dia membatalkan pembangunan Masjid Qaitariya.”
Perhatikan kata Amani; Ia mengatakan, karena “membangun masjid dengan tinggi langit-langit 200 meter tidak bermanfaat” maka proyek tersebut ditolak. Arti kebalikan dari kalimat tersebut adalah jika area taman yang lebih luas dialokasikan untuk kebaikan dan pembuatan masjid beserta sub-subnya untuk tujuan kebaikan dan ekonomi, maka kekhawatiran akan perubahan penggunaan lahan publik dan ruang hijau. dan menebang pohon dan… tidak ada Hal itu tidak menghalangi pembangunan masjid di taman.
Kisah ini mengungkap sisi gelap yang terkadang tersembunyi di balik lembaga keagamaan, badan amal dan sejenisnya.
Persoalannya adalah: Bagaimana lembaga keagamaan, yang misi utamanya adalah memajukan spiritualitas, moralitas dan keadilan, terkadang menjadi sarana untuk memperoleh keuntungan ekonomi dan bahkan melakukan kejahatan finansial dan moneter? Lembaga-lembaga keagamaan pada hakikatnya, apapun manfaat materinya, harus dibentuk untuk melayani masyarakat, namun jika menyangkut “efisiensi ekonomi” dalam sebuah proyek keagamaan, timbul pertanyaan apakah tempat dan lembaga tersebut benar-benar untuk melayani masyarakat. kedok untuk keuntungan ekonomi?!
Dalam kasus Masjid Taman Qaytariyeh, badan amal yang seharusnya dikerahkan oleh al-Qaeda dengan niat yang tulus, tidak menerima pembangunan masjid yang kecil dan sederhana, karena “itu di luar kemampuannya!” Perubahan mentalitas ini, dimana niat spiritual telah dikesampingkan demi kepentingan ekonomi, merupakan contoh tren yang lebih luas yang terlihat di beberapa lembaga keagamaan. Tentu saja, pembangunan masjid bukanlah satu-satunya kegiatan yang mengalami transformasi ini, dan kasus-kasus lain juga bisa dijadikan contoh. Sebagai contoh, bidang penting lainnya yang terkadang menjadi pusat penyalahgunaan adalah wakaf dan tanah wakaf.
Properti ini, yang seharusnya dikhususkan untuk melayani masyarakat dan orang-orang yang membutuhkan serta murni urusan keagamaan, terkadang berubah menjadi proyek ekonomi yang menguntungkan bagi kelompok dan individu tertentu; Atau badan-badan amal, yang dulunya tampak seperti jantungnya melayani orang-orang yang membutuhkan, kini berubah menjadi pusat penghindaran pajak atau pencucian uang dengan kedok kegiatan amal. Banyak dari lembaga-lembaga ini, yang memanfaatkan pengecualian pajak, menjalankan aktivitas bisnis yang menguntungkan alih-alih membantu masyarakat.
Mulai dari pendirian pusat kesehatan dan pendidikan yang membebankan biaya besar pada masyarakat hingga investasi yang tidak transparan di sektor ekonomi, dan lain-lain adalah contoh dari penyimpangan ini. Contoh selanjutnya adalah dana Qarz Al-Hasna. Dana-dana tersebut, yang dalam bentuk paling idealnya seharusnya menjadi wadah untuk memberikan bantuan keuangan kepada masyarakat berpenghasilan rendah, dalam beberapa kasus telah berubah menjadi pusat pencucian uang dan keuntungan bagi kelompok tertentu. Krisis keuangan yang terjadi beberapa dekade terakhir di Iran, yang sebagian disebabkan oleh salah urus dan korupsi di lembaga-lembaga tersebut, merupakan contoh nyata bagaimana kepercayaan publik disalahgunakan terhadap lembaga keagamaan.
Ketika masyarakat mendengar bahwa pembangunan masjid di taman umum dihentikan karena “kekurangan dana” atau ketika mereka melihat lembaga-lembaga keagamaan dituduh melakukan perampasan tanah atau penyalahgunaan keuangan, fondasi kepercayaan terhadap lembaga-lembaga tersebut melemah.
Krisis kepercayaan ini tidak hanya mengakibatkan hilangnya institusi-institusi tersebut, namun juga hilangnya spiritualitas dan moralitas masyarakat.
Untuk memulihkan kepercayaan masyarakat, semua lembaga keagamaan tanpa kecuali harus berkomitmen terhadap transparansi penuh. Undang-undang yang ketat harus disahkan untuk mengelola pembangunan tempat-tempat keagamaan dan keagamaan serta lembaga-lembaga keagamaan dan keagamaan lainnya, termasuk wakaf, badan amal dan tempat-tempat suci, dan kegiatan ekonomi dari lembaga-lembaga ini harus dibatasi dan diawasi secara ketat.
Yang terpenting, niat spiritual dan keagamaan – yang merupakan inti dari lembaga-lembaga tersebut – harus kembali menjadi sorotan. Meskipun lembaga-lembaga keagamaan dapat menjadi alat yang efektif untuk meningkatkan spiritualitas, kesejahteraan, dan keadilan sosial, penyalahgunaan lembaga-lembaga tersebut demi keuntungan ekonomi tidak hanya melemahkan tujuan spiritual mereka, namun juga merusak kepercayaan publik. Misi lembaga-lembaga ini adalah untuk melayani masyarakat dan memajukan keadilan, dan misi ini terwujud ketika kepentingan pribadi dan ekonomi digantikan oleh nilai-nilai moral. Peristiwa Qaitariya hanyalah sebuah pertanda, namun memiliki suara nyaring yang mengajak kita untuk merenungkan berfungsinya lembaga-lembaga tersebut.