REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Parlemen Eropa akhirnya sepakat untuk menunda penerapan Peraturan Bebas Deforestasi Uni Eropa (EUDR) selama satu tahun. Dengan keputusan tersebut, kewajiban menaati peraturan akan mulai berlaku pada 30 Desember 2025 bagi pelaku usaha besar, sedangkan bagi pelaku usaha mikro dan kecil diberikan kelonggaran hingga 30 Juni 2026.
Perpanjangan ini dimaksudkan untuk memberikan tambahan waktu bagi pelaku usaha global untuk mematuhi peraturan tersebut tanpa mengganggu tujuan utama peraturan tersebut. Lihatlah waktu kehadiran EUDR Hingga diberlakukan pada Desember 2026, terdapat waktu 2 tahun 6 bulan bagi negara produsen untuk beradaptasi dengan EUDR.
Koalisi Transisi Bersih yang terdiri dari Greenpeace Indonesia, Serikat Petani Kelapa Sawit (SPKS), Satya Bumi dan Sawit Watch mengkritisi langkah pemerintah membentuk Dashboard Nasional Indonesia melalui Keputusan Menteri Koordinator Perekonomian (Kepmenko) Nomor 178 Tahun 2024 tentang Komite Pengarah Dasbor Nasional Data dan Informasi Komoditi Berkelanjutan Indonesia.
Pemerintah mengklaim pengembangan Dashboard Nasional dapat meningkatkan tata kelola komoditas berkelanjutan dan sistem penelusuran untuk menjawab EUDR. Dalam siaran persnya, Rabu (18/12/2024) Koalisi Transisi Bersih menyebut pembentukan Dashboard Nasional tidak sesuai dengan Undang-Undang Anti Deforestasi Uni Eropa.
Pemerintah Indonesia ingin Uni Eropa mengacu pada sistem ini dalam memenuhi prosedur dan implementasi EUDR sesuai dengan standar nol deforestasi. Masalahnya, belum ada sistem transparan yang pernah dibangun pemerintah Indonesia. Masyarakat sipil menduga Dashboard Nasional hanyalah sebuah sistem untuk menutup rantai pasok minyak sawit kotor di Tanah Air.
Langkah Pemerintah Indonesia dalam menyikapi tuntutan kebijakan EUDR (European Deforestation Regulation) justru akan mempersulit pelaku usaha untuk menerapkan EUDR. Apalagi, sistem informasi melalui National Dashboard yang rencananya akan memfasilitasi ekspor komoditas Indonesia ke pasar UE belum mendapat lampu hijau dari UE.
Pada kesempatan lain, UE menegaskan bahwa sistem informasi yang dibangun UE untuk implementasi EUDR tidak akan mengacu pada sistem informasi yang dibangun di negara lain.
Dewan Nasional SPKS Mansuetus Darto meminta Pemerintah Indonesia tidak menyia-nyiakan waktu pengelolaan Dashboard Nasional dan fokus pada penguatan traceability, penguatan SDM birokrasi ke daerah dan pelaku usaha termasuk petani kecil agar bisa patuh terhadap UDR.
Terlebih lagi, dalam kebijakan EUDR, tidak ada kewajiban bagi Pemerintah di negara produsen untuk membangun sistem informasi yang dapat dijadikan acuan untuk memfasilitasi ekspor komoditas ke Pasar UE. Terlebih lagi, UE menyiapkan sistem informasinya sendiri dalam implementasi EUDR di seluruh negara produsen.
Pengembangan Dashboard Nasional justru akan menjadi bumerang bagi Pemerintah Indonesia. Sistem informasi yang dibangun tidak menjamin perbaikan tata kelola sawit nasional.
“Sejumlah isu penting tidak diangkat dalam Dashboard Nasional. Ini hanyalah sistem informasi biasa namun tidak bisa menjanjikan perbaikan tata kelola komoditas berkelanjutan tanpa deforestasi dan pelanggaran hak asasi manusia. Masyarakat di akar rumput tidak dapat mengakses informasi apa pun di sistem untuk mengetahui perusahaan mana yang ada di sekitar mereka di wilayah tersebut. Apalagi sistem ini tidak mengenal mekanisme pengaduan, kata Darto.
Lebih lanjut Darto mengatakan, masyarakat atau organisasi masyarakat sipil yang dekat dengan isu kemasyarakatan dan lingkungan hidup tidak bisa membuka kode QR karena kode QR memuat beberapa informasi penting tentang kepatuhan perusahaan atau komoditas yang ada. Akses terhadap kode QR hanya dapat diberikan kepada konsumen atau pihak berwenang yang diizinkan oleh otoritas Dashboard Nasional.
“Di sini terlihat jelas bahwa Dashboard Nasional tidak transparan. “Bagi masyarakat sipil, dipastikan data dan informasi yang dimasukkan ke dalam sistem bukanlah data yang salah dan menjamin bahwa perusahaan atau komoditas apapun tidak melakukan deforestasi dan telah melakukan uji tuntas (due diligence) dengan baik,” jelas Darto.
Achmad Surambo, Direktur Sawit Watch, khawatir Dashboard Nasional akan menimbulkan tumpang tindih pembentukan sistem informasi yang sudah ada di sejumlah Kementerian, seperti Kementerian Perdagangan, Kementerian Pertanian, Kementerian Kehutanan, dan Kementerian Kehutanan. ATR/BPN.
“Belum lagi persoalan akuntabilitas sistem informasi yang dibangun. Ada banyak sistem yang ada, misalnya mengenai komoditas perkebunan kelapa sawit, salah satunya adalah SIPERIBUN. Dalam penerapannya, sistem ini tidak dapat menjamin seluruh pelaku usaha akan melakukan pelaporan mandiri pada SIPERIBUN.
Masyarakat juga belum mendapatkan manfaat dari sistem yang dibangun, karena dengan sistem informasi, seharusnya Pemerintah bisa melakukan evaluasi perizinan dan hak atas tanah dari seluruh pelaku usaha.
“Sehingga ada jaminan bagi masyarakat untuk mengakses data dan memperoleh pengembalian lahan konflik dari pelaku usaha yang terindikasi memiliki konsesi perkebunan yang melebihi hak atas tanah atau HGU-nya,” jelas Rambo.
Pemerintah, lanjut Rambo, cukup mengintegrasikan SIPERIBUN, ESTDB sebagai hulu database dengan sistem informasi ekspor komoditas, seperti INATRADE (Kementerian Perdagangan) dan CEISA (Direktorat Jenderal Bea dan Cukai) serta mengembangkan Peta Satu Komoditas Perkebunan Indonesia (PCOPI). ) platform sebagai sistem database spasial yang terintegrasi.
Menurut Rambo, sebaiknya pemerintah fokus pada pengelolaan komoditas kelapa sawit dengan mendorong penguatan petani mandiri dalam rantai pasok. Hal ini dapat dilakukan dengan cara: Pertama, penguatan data dan legalitas petani mandiri melalui pemetaan, pendataan, dan penerbitan STDB. Kedua, mendorong konsolidasi petani mandiri dengan memperkuat kelembagaan petani dengan membentuk KUD petani mandiri.
Ketiga, memperbaiki sistem tata niaga kelapa sawit dan komoditas lainnya dengan mendorong kemitraan antara petani mandiri dengan pabrik pengolahan, dimana kemitraan tersebut harus memenuhi prinsip kesetaraan, jaminan harga, jaminan pasokan, dan jaminan keberlanjutan.
Keempat, mendorong pengembangan pabrik kelapa sawit mini (PKS) atau pabrik mini komoditas lainnya, yang dikelola secara profesional oleh KUD/BUMDes, yang kepemilikannya dimiliki oleh petani mandiri.
Grahat Nagara, Akademisi STHI Jentera menyatakan bahwa praktik penggunaan sistem informasi seperti Dashboard harus dipastikan agar tidak menjadi pintu masuk moral hazard birokrasi, apalagi mengingat sebagian besar sistem informasi tidak terbuka untuk umum.
Saat ini, belum banyak sistem informasi yang berhasil menjadi instrumen tata kelola. Secara sederhana, misalnya, tidak ada satu pun informasi berbasis penelusuran yang bersifat terbuka dan menjadi dasar uji akuntabilitas publik.
“Kasus ekspor minyak sawit ilegal harus menjadi contoh bagaimana perangkat elektronik yang dikelola pemerintah dapat menjadi alat untuk mengontrol pertukaran dan asimetri informasi,” kata Grahat.
Dia menjelaskan, seharusnya fungsi pemerintah adalah mengatur dan mengelola kepentingan masyarakat terhadap informasi ketertelusuran. Yakni dengan memastikan informasi terbuka seluas-luasnya kepada masyarakat. “Jika memang ingin mendukung penguatan tata kelola, saya kira tugas pemerintah adalah merevisi keputusan pejabat negara terkait daftar informasi yang dikecualikan,” imbuhnya.
Di Kementerian Pertanian pada tahun 2022, melalui Keputusan Sekjen Nomor 19 Tahun 2022, data perizinan dan peta perkebunan ditutup dengan alasan menunjukkan kekayaan alam Indonesia. “Padahal dengan argumen itu yang berkepentingan dengan dampak kebijakan eksploitasi sumber daya alam adalah masyarakat yang tidak bisa mengaksesnya,” jelas Grahat.
Sayyidatihayaa Afra, Peneliti Satya Bumi, mengkritisi kebijakan Dashboard Nasional yang tidak dibangun dengan sistem transparan dan jaminan akses bagi masyarakat. Sistem informasi terkait komoditas berkelanjutan harus lebih kredibel sehingga dapat dipercaya dan meningkatkan nilai komoditas sehingga lebih berdaya saing di pasar global.
Hayaa mencatat, pada pertemuan JTF di Brussels, Perwakilan Pemerintah Indonesia mempertanyakan sejumlah persyaratan EUDR yang dianggap mengancam keamanan data privasi. Karena dalam EUDR, transparansi dan persyaratan data memerlukan bukti ketertelusuran dan uji tuntas.
“Pemerintah berdalih memberikan data dan informasi ke negara lain melanggar undang-undang yang berlaku di Indonesia. Padahal mengacu pada Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2022 tentang Perlindungan Data Pribadi tidak melarang berbagi data, kecuali data tertentu yang mencakup data individu tanpa menyetujuinya,” kata Haya.