Israel pada Minggu mengatakan akan menutup kedutaan besarnya di Irlandia ketika hubungan memburuk akibat perang di Gaza, di mana para pejabat medis Palestina mengatakan serangan udara baru Israel menewaskan lebih dari 30 orang, termasuk beberapa anak-anak.
Keputusan untuk menutup kedutaan besar di Dublin terjadi sebagai tanggapan atas apa yang digambarkan oleh menteri luar negeri Israel sebagai “kebijakan ekstrim anti-Israel” di Irlandia. Pada bulan Mei, Israel menarik duta besarnya untuk Dublin setelah Irlandia mengumumkan, bersama dengan Norwegia, Spanyol dan Slovenia, mereka akan mengakui negara Palestina.
Kabinet Irlandia pekan lalu memutuskan untuk secara resmi melakukan intervensi dalam kasus Afrika Selatan terhadap Israel di Mahkamah Internasional, yang menuduh Israel melakukan genosida di Gaza. Israel membantah tuduhan tersebut.
“Kami prihatin bahwa penafsiran yang sangat sempit mengenai apa yang dimaksud dengan genosida akan mengarah pada budaya impunitas yang mana perlindungan terhadap warga sipil diminimalkan,” kata Wakil Perdana Menteri dan Menteri Luar Negeri Irlandia, Micheal Martin, dalam sebuah pernyataan.
Pernyataan Menteri Luar Negeri Israel Gideon Saar tentang penutupan kedutaan mengatakan bahwa “Irlandia telah melewati setiap garis merah dalam hubungannya dengan Israel.”
Perdana Menteri Irlandia Simon Harris menyebut keputusan penutupan kedutaan itu “sangat disesalkan.” Dia menambahkan pada X: “Saya sepenuhnya menolak pernyataan bahwa Irlandia anti-Israel. Irlandia pro-perdamaian, pro-hak asasi manusia, dan pro-hukum internasional.”
Anak-anak, jurnalis terbunuh di Gaza
Pasukan Israel pada Minggu terus menggempur Gaza utara yang sebagian besar terisolasi, ketika jumlah korban tewas warga Palestina dalam perang tersebut mendekati 45.000 orang.
Satu serangan udara menghantam sekolah Khalil Aweida di kota Beit Hanoun dan menewaskan sedikitnya 15 orang, menurut Rumah Sakit Kamal Adwan di dekatnya, tempat korban dirawat.
Korban tewas termasuk dua orang tua dan anak perempuan mereka, serta seorang ayah dan anak laki-lakinya, kata rumah sakit.
Di Kota Gaza, setidaknya 17 orang termasuk enam wanita dan lima anak-anak tewas dalam tiga serangan udara yang menghantam rumah-rumah yang menampung para pengungsi, menurut Rumah Sakit Baptis Al-Ahli.
“Kami terbangun karena serangan itu. Saya terbangun dengan puing-puing di atas tubuh saya,” kata Yahia al-Yazji yang diperban, yang berduka atas istri dan putrinya. Ia menambahkan, istrinya sedang hamil tiga bulan.
Militer Israel dalam sebuah pernyataan mengatakan pihaknya menyerang “sel teroris” di Kota Gaza dan “titik pertemuan teroris” di daerah Beit Hanoun.
Serangan udara Israel lainnya di Gaza tengah menewaskan seorang jurnalis Palestina yang bekerja untuk Al Jazeera, Ahmed al-Lawh, sebuah rumah sakit dan stasiun TV yang berbasis di Qatar.
Serangan itu menghantam badan pertahanan sipil Gaza di kamp pengungsi perkotaan Nuseirat, kata Rumah Sakit Al-Awda. Yang juga tewas adalah tiga pekerja pertahanan sipil termasuk kepala badan tersebut di Nuseirat, menurut rumah sakit Martir al-Aqsa. Pertahanan sipil adalah lembaga penyelamat utama Gaza dan beroperasi di bawah pemerintahan Hamas.
Perang di Gaza dimulai setelah Hamas dan militan lainnya dari Gaza menyerbu Israel selatan pada 7 Oktober 2023, menewaskan sekitar 1.200 orang dan menyandera lebih dari 200 orang.
Serangan balasan Israel telah menewaskan hampir 45.000 warga Palestina, menurut Kementerian Kesehatan Gaza. Penghitungan yang dilakukan kementerian tidak membedakan antara kombatan dan warga sipil, namun disebutkan lebih dari separuh korban tewas adalah perempuan dan anak-anak.