Wanita itu membawa pisang, ubi, dan sayuran dalam tas yang diikat di kepalanya saat dia berjalan-jalan di pasar di daerah pinggiran kota Jayapura di Indonesia bagian timur.
Bahkan di ibu kota Papua dan kota-kota besar di provinsi tersebut, tas noken yang digunakan orang untuk membawa kebutuhan sehari-hari merupakan pemandangan umum.
Tas khas ini dibuat dengan tangan dari serat alami seperti kulit pohon atau daun, ditenun dan diikat dengan benang warisan Papua. Badan kebudayaan PBB, UNESCO, mengakui bahwa tas tradisional memerlukan perlindungan segera pada tahun 2012 karena semakin sedikit perajin yang membuat noken dan semakin banyak persaingan dengan tas buatan pabrik.
Perajin Mariana Pekei menjual tas buatan tangannya setiap hari di pasar Youtefa di Jayapura, bersama dengan perempuan lain dari desanya.
“Sulit membuat kerajinan dari kulit pohon,” kata Pekei.
Mereka mengumpulkan bahan mentah dari pohon melinjo atau anggrek, menghadapi bahaya seperti nyamuk di hutan. Mereka kemudian mengolah bahan tersebut menjadi serat benang, termasuk dengan cara memintal serat tersebut di telapak tangan dan di paha, sehingga dapat menimbulkan luka dan bekas luka di kulit.
“Kalau dari benang, bisa kita kerajinan, langsung diikat dengan tangan,” kata Pekei.
Harga noken tergantung bahan dan pengerjaannya. Tas berukuran kecil bisa dibuat dalam sehari, namun tas yang lebih besar membutuhkan kreativitas pembuatnya yang lebih serta ketelitian dan kesabaran yang lebih.
Terkadang noken diwarnai dengan menggunakan pewarna alami, sebagian besar berwarna coklat muda atau krem dengan sedikit coklat kekuningan.
“Itulah warna masyarakat Papua dan tanah Papua,” kata Pekei.
Dengan teknik penggulungannya yang terkesan sederhana namun rumit serta simbolisme yang dimilikinya, noken telah menjadi barang berharga yang diwariskan secara turun-temurun.
Bagi masyarakat luar Papua, noken banyak diminati dan mudah didapat di pasar atau toko oleh-oleh. Meskipun biaya transportasinya mahal, para perajin sering melakukan perjalanan dari desa-desa terpencil ke Jayapura, bertekad untuk menjual noken mereka dan membagikan hasil kerajinan mereka ke kota.
Namun lebih dari sekedar alat praktis untuk membawa barang atau cinderamata, Pekei mengatakan noken juga merupakan simbol budaya yang kuat, mewakili ketangguhan, persatuan dan kreativitas masyarakat Papua.