DALAM tiga seri sebelumnya mengenai topik ini, saya mengeksplorasi kepercayaan umat Kristiani, Islam, Budha, Hindu, penganut Agama Tradisional Afrika dengan penekanan pada budaya Yoruba dan Mesir, Baha’i, Konghucu, Tao, Shinto, Jain dan Zoroastrianisme. tentang kehidupan setelah kematian. Saya telah menemukan bahwa sebagian besar agama percaya akan adanya kehidupan setelah kematian. Mereka juga percaya bahwa manusia mempunyai jiwa, dan jiwa manusia tidak mati bersama jasadnya. Sebaliknya, jiwa tetap hidup dalam bentuk lain di alam semesta ini atau di dunia lain yang diperuntukkan bagi orang mati. Kebanyakan agama percaya bahwa kehidupan setelah kematian adalah tempat pahala berdasarkan bagaimana seseorang menjalani kehidupan selama di bumi. Namun, apakah jawaban atas pertanyaan adanya kehidupan setelah kematian hanya berdomisili pada agama?

Untuk menjawab pertanyaan ini, perlu dipikirkan pemikiran dan hipotesis di luar batasan agama. Untuk itu, saya meneliti pemikiran para atheis mengenai kehidupan setelah kematian.

Keyakinan dan praktik ateis tentang kehidupan setelah kematian

Kematian adalah sebuah misteri yang telah membingungkan umat manusia sejak awal mulanya. Namun, meski banyak orang beralih ke agama untuk mendapatkan jawabannya, para ateis mencari penjelasan alternatif. Atheis adalah orang yang tidak percaya akan adanya tuhan atau tuhan, kekuatan yang lebih tinggi, atau alam gaib. Sebaliknya, mereka fokus pada alam dan sains untuk menjawab pertanyaan tentang misteri hidup dan mati. Penting untuk menyatakan bahwa semua ateis berbeda. Sebab, ateisme bukanlah sekte tempat orang berkumpul dan bertukar pendapat. Sebaliknya, hal ini biasanya merupakan hasil dari keyakinan, ideologi, dan keyakinan pribadi. Oleh karena itu, pandangan para ateis, terutama mengenai topik kontroversial seperti kehidupan setelah kematian, berbeda-beda.

Kepercayaan kaum atheis terhadap kehidupan setelah kematian disampaikan berikut ini:

  1. Kematian sebagai bagian dari kehidupan

Kebanyakan ateis percaya bahwa kematian adalah bagian alami dari kehidupan. Kematian bukanlah suatu fenomena yang begitu istimewa sehingga patut mendapat perhatian atau kemeriahan khusus. Ateis juga tidak percaya pada gagasan tentang jiwa. Sebaliknya, mereka percaya pada kesadaran mental yang tunduk pada kendali otak. Selain itu, para ateis tidak mendukung keyakinan agama atau spiritual bahwa orang mati akan dipindahkan ke alam setelah kematian. Oleh karena itu, yang diutamakan adalah bagaimana seseorang menjalani kehidupannya selama di bumi, bukan pada apa yang terjadi setelah kematian. Beberapa atheis lebih lanjut meyakini bahwa agama lahir karena rasa takut akan kematian dan apa yang terjadi setelah kematian. Filosofi ini menjadi dasar sebagian besar keyakinan ateis tentang kehidupan setelah kematian.

Selain itu, kematian dipandang oleh sebagian orang sebagai bagian penting dari evolusi. Kematian memberikan ruang bagi generasi baru dengan ide-ide segar dan adaptasi untuk berkembang. Hal ini menjamin kelangsungan hidup spesies kita, dan secara biologis memungkinkan bumi untuk menopang populasinya setiap saat.

  1. Kelupaan abadi atau ketiadaan abadi

Terkait dengan keyakinan bahwa kematian adalah bagian dari kehidupan adalah keyakinan bahwa pada titik kematian, kesadaran berakhir. Analogi yang paling dekat dengan konsep pelupaan abadi adalah seperti tidur nyenyak tanpa mimpi. Salah satu tokoh protagonis utama aliran ini adalah Edwin C. May, seorang fisikawan. Memajukan pemikiran tentang aliran ini, ia berpendapat bahwa ilmu saraf telah mengungkapkan bahwa kesadaran bergantung pada otak, oleh karena itu, kesadaran tidak dapat hidup lebih lama dari otak. Begitu otak mati, para pendukung aliran pemikiran ini percaya bahwa kesadaran, perasaan, dan pengalaman dalam segala bentuk akan berakhir.

  1. Konservasi dan daur ulang energi

Beberapa ateis, khususnya naturalis, percaya bahwa tubuh manusia terbuat dari energi yang tidak dapat dimusnahkan. Oleh karena itu energi ini dilepaskan ke alam semesta ketika seseorang meninggal. Energi ini bisa menjadi bagian dari pohon, hewan, atau bahkan bintang. Oleh karena itu ketika seseorang meninggal, kesadarannya berakhir. Namun, energi yang ditangkap di tubuhnya dilepaskan ke alam semesta. Kematian dalam perspektif ini bukanlah sebuah akhir melainkan sebuah transformasi.

Aliran pemikiran ini sangat mirip dengan pemikiran tentang “Daur ulang materi”. Para pendukung aliran ini percaya bahwa tubuh kita terbuat dari atom-atom yang sudah ada sejak awal mula alam semesta. Oleh karena itu, ketika manusia mati, atom-atom tersebut terlepas dan kembali ke bumi untuk menjadi bagian dari hal-hal baru. Teori ini meyakini bahwa siklus materi menghubungkan segala sesuatu di alam semesta.

  1. Konsep keabadian

Terlepas dari kurangnya kepercayaan pada jiwa yang tidak berkematian, para ateis percaya pada keabadian. Ini adalah Keabadian Kuantum, Kehidupan Warisan, Kehidupan Akhirat Digital, Keabadian Genetik, dan Keabadian Simbolik. Hal ini akan dipertimbangkan secara seriatim di bawah ini:

  1. i) Kehidupan Warisan: Beberapa ateis percaya bahwa keabadian ada melalui ingatan orang-orang yang masih hidup di bumi. Hal ini terjadi melalui pengaruh orang yang meninggal terhadap orang yang masih hidup. Hal ini dapat dilihat dari tindakan, ide, hubungan, dan bentuk pengaruh lain yang dimiliki orang yang meninggal terhadap dunia ketika dia masih hidup. Setiap kali seseorang berpikir atau berbicara tentang orang yang telah meninggal, orang tersebut ada pada saat itu. Jika warisan ini diturunkan sebagai sejarah lisan atau tertulis, maka orang tersebut mempunyai umur sejarah yang panjang. ii) Keabadian Simbolik: Keabadian juga dapat dicapai melalui simbol dan budaya yang ditinggalkan setelah kematian. Hal ini dapat dilakukan melalui seni, sastra, penemuan ilmiah, atau gerakan sosial. Cita-cita ini seringkali hidup lebih lama dari para pendukungnya. Hal ini terus berlanjut melalui dampak dan budaya. iii) Digital Afterlife: Teknologi telah berkembang hingga pikiran manusia dapat dikloning, sehingga menciptakan versi digital dari diri kita sendiri. Akibatnya, seseorang kini dapat eksis sebagai sebuah program, atau memiliki kemampuan untuk berinteraksi dengan dunia digital bahkan setelah ia meninggal. Ini adalah kehidupan kedua di dunia digital.
  2. iv) Keabadian genetik: Secara biologis, orang tua mewariskan gen kepada generasi biologis berikutnya. Intinya, sebagian dari DNA kita akan ada pada generasi kita untuk jangka waktu yang lama. Oleh karena itu, bagi mereka yang menganut aliran pemikiran ini, keabadian biologis ada bagi siapa saja yang memiliki keturunan biologis.
  3. v) Keabadian Kuantum: Beberapa ateis yang mempelajari mekanika kuantum percaya bahwa ada banyak alam semesta dan dunia alternatif. Untuk memudahkan pemahaman, mereka percaya bahwa manusia tertentu mungkin ada di beberapa alam semesta. Oleh karena itu, setiap kali seseorang meninggal, kesadarannya melompat ke alam semesta paralel di mana orang tersebut masih hidup. Para pendukung aliran pemikiran ini percaya bahwa akan selalu ada bagian dari setiap manusia di alam semesta alternatif. Ini menyimpulkan kehidupan tanpa batas dalam realitas yang berbeda.

Akibat sistem kepercayaan ini, sebagian besar ateis menghadapi kematian dengan rasa takut yang lebih sedikit dibandingkan rekan-rekan mereka yang beragama. Hal ini karena mereka tidak mempunyai kerinduan akan kehidupan melebihi apa yang mereka miliki di bumi. Kenyamanan bagi para ateis adalah mengetahui bahwa mereka menjalani kehidupan yang mereka banggakan. Menurut Profesor Stephen Hawking, otak adalah komputer yang akan berhenti bekerja ketika komponen-komponennya rusak. Tidak ada surga atau akhirat bagi komputer yang rusak; itu adalah cerita dongeng bagi orang-orang yang takut kegelapan. Oleh karena itu, kurangnya kehidupan setelah kematian seharusnya tidak menghambat kita di bumi, namun mendorong kita untuk mencari nilai terbesar dari tindakan kita. Alih-alih kembali ke Yang Maha Kuasa, para ateis melihat diri mereka sebagai bagian dari alam, dan berdamai dengan tekad bahwa mereka kembali ke alam sebagai bagian dari siklus yang indah.

Oleh karena itu, bagi banyak ateis, kehidupan setelah kematian adalah kembali ke alam. Satu-satunya hal yang bertahan lebih lama dari siapa pun adalah kenangan hidup dan dampaknya. Hal ini terletak pada warisan dan dampaknya selama mereka masih hidup. Bagi seorang ateis, ini sudah cukup.

Selain hal di atas, umumnya atheis tidak percaya dengan reinkarnasi. Mereka percaya bahwa kesadaran setiap individu adalah produk dari proses biologis dan tidak ada bukti yang mendukung perpindahan jiwa dari satu tubuh ke tubuh lain setelah kematian.

Ateis percaya bahwa konsep surga dan neraka adalah konstruksi mitos. Oleh karena itu, mereka tidak mengharapkan pengalaman, imbalan atau hukuman setelah kematian mereka sebagai akibat dari keyakinan atau tindakan mereka. Oleh karena itu, sebagian besar ateis berusaha memanfaatkan waktu mereka sebaik-baiknya di dunia dengan membina hubungan yang bermakna, mengejar pertumbuhan pribadi, dan berkontribusi pada kesejahteraan orang lain.

Hambatan TAHUN AARE, OFR, CON, SAN, LL.D (Lond.)

BACA JUGA: Soul Makers Ministry bersiap untuk perayaan ‘Heart’s Day’

Sumber

Wisye Ananda
Wisye Ananda Patma Ariani is a skilled World News Editor with a degree in International Relations from Completed bachelor degree from UNIKA Semarang and extensive experience reporting on global affairs. With over 10 years in journalism, Wisye has covered major international events across Asia, Europe, and the Middle East. Currently with Agen BRILink dan BRI, she is dedicated to delivering accurate, insightful news and leading a team committed to impactful, globally focused storytelling.