Masyarakat pedesaan berada dalam krisis! Ketika semakin banyak orang meninggalkan pedesaan, cara hidup pedesaan kita menjadi tidak seimbang. Toko-toko lokal, gereja, dan klub olahraga kami semuanya bergantung pada populasi pedesaan yang berkembang. Namun bukan hanya organisasi-organisasi ini saja yang terkena risiko—tetapi juga jantung kehidupan pedesaan. Dan di tengah badai ini? Petani kita.

Lahan pertanian bukan sekadar lahan—merupakan warisan, simbol ketabahan, ketekunan, dan harapan untuk masa depan. Selama beberapa generasi, keluarga-keluarga telah mengolah tanah, beternak, dan menciptakan ikatan yang tidak dapat diputuskan dengan tanah. Namun warisan itu terancam. Saat ini, lebih dari sebelumnya, kelangsungan hidup pedesaan berada dalam bahaya, dan kita harus bertanya pada diri sendiri: akankah generasi mendatang dapat hidup dengan cara yang sama?

Kenyataan yang sebenarnya adalah bahwa pertanian adalah profesi yang sangat menyendiri dan penuh tekanan. Tanyakan kepada petani mana pun, dan mereka akan memberi tahu Anda—masalah kesehatan mental merajalela namun sebagian besar tidak terlalu diperhatikan. Keterasingan, tekanan terus-menerus, dan tekanan keuangan sering kali tidak terlihat, namun hal ini nyata. Krisis kesehatan mental yang diam-diam terjadi di kalangan petani kita harus diakui sebelum terlambat. Saya tahu ada banyak organisasi hebat yang bekerja untuk mendukung petani kita di bidang ini dan jika ada petani yang merasa sendirian dan berada di bawah tekanan, mereka harus mencari bantuan.

Mereka bukan sekedar pekerja—mereka adalah orang-orang yang berjuang untuk tetap bertahan di lingkungan yang semakin tidak bersahabat. Dan kebijakan perpajakan pemerintah memperburuk keadaan.

Pemberlakuan pajak yang besar merupakan tantangan terakhir bagi banyak petani yang sudah menghadapi utang yang semakin besar, penurunan harga, dan monopoli supermarket yang membuat mereka kewalahan. Presiden Persatuan Petani Nasional baru-baru ini memperingatkan pemerintah mengenai dampak buruk yang ditimbulkan terhadap komunitas petani. Bagi petani lanjut usia yang khawatir akan mewariskan lahan pertanian keluarga mereka, atau bagi petani muda yang bertanya-tanya apakah layak untuk mengambil lebih banyak utang, situasi ini sangat memprihatinkan. Ini adalah krisis yang mengancam akan melenyapkan keluarga petani selamanya.

Sebagai mantan pengacara desa, saya tahu betul bahwa para petani tidak selalu menempatkan perencanaan suksesi sebagai prioritas utama dalam agenda mereka. Mereka bekerja dengan jam kerja yang panjang, seringkali dengan gaji yang kecil, dan berpegang teguh pada harapan bahwa mereka dapat mewariskan lahan pertanian mereka kepada generasi berikutnya. Namun kini harapan itu terancam. Mengapa? Karena kebijakan-kebijakan yang dirancang di kantor-kantor yang jauh dari realitas kehidupan pedesaan secara sistematis telah membongkar fondasi pertanian. Petani berhak mendapatkan yang lebih baik!

Beratnya peraturan pemerintah, semakin kuatnya kekuatan supermarket, dan beban pajak yang tidak adil kini membuat para petani berada dalam posisi yang terpuruk. Mereka bekerja lebih keras dari sebelumnya, tapi untuk apa? Kehilangan lahan pertanian mereka karena birokrasi dan kenaikan pajak yang menindas? Kita tidak bisa berpangku tangan ketika para petani terusir dari usahanya dan meninggalkan rumah mereka.

Pemerintah HARUS Bertindak Sekarang!

Solusinya sederhana. Hapus pajak. Akhiri ancaman terhadap masa depan petani. Namun jika Departemen Keuangan menolak, naikkan ambang batasnya—jangan berikan sanksi kepada petani yang aktif menggarap lahan. Kita tidak bisa membiarkan kebijakan yang menargetkan orang-orang yang memberi makan negara ini. Petani adalah tulang punggung masyarakat pedesaan, dan jika kita tidak melindungi mereka, kita berisiko kehilangan segalanya.

Pemerintah memberi tahu kami bahwa mereka ingin mengatur ulang hubungan dengan Eropa. Mereka kemudian sebaiknya mencari panduan dari negara-negara seperti Jerman dan Republik Irlandia. Negara-negara ini telah menemukan cara untuk melindungi petani dan mata pencaharian mereka dengan mendefinisikan apa yang dimaksud dengan “petani aktif” dan membebaskan mereka dari pajak yang tidak adil.

Kuncinya adalah membedakan antara mereka yang benar-benar bertani dan mereka yang sekadar membeli tanah demi keuntungan. Ini bukan sekedar soal keadilan—ini soal kelangsungan hidup. Jika kita tidak bertindak sekarang, kita berisiko menghadapi masa depan dimana pedesaan akan ditinggalkan dan pertanian akan menjadi masa lalu.

Petani BUKAN musuh.

Kenyataannya adalah para petani tidak meminta bantuan—mereka hanya ingin mendapat kesempatan yang adil dalam mencari nafkah. Mereka adalah orang-orang pekerja keras dan berpikiran adil yang menghabiskan hidup mereka untuk membangun lahan. Mereka pantas dihormati. Mereka layak mendapatkan dukungan. Mereka berhak mendapatkan masa depan. Namun jika kita tidak bertindak sekarang, masa depan itu akan hilang.

Pemerintah harus mendengarkan. Pajak atas pertanian tidak dapat berjalan sesuai rencana dan solusi lain harus ditemukan. Kami membutuhkan tindakan. Kesejahteraan para petani, kelangsungan hidup komunitas pedesaan, dan masa depan pedesaan semuanya dipertaruhkan. Jika kita gagal bertindak, kita berisiko kehilangan cara hidup yang telah teruji oleh waktu.

Petani adalah jantung dari komunitas pedesaan kita.
Kita tidak bisa membiarkan momen ini berlalu begitu saja. Saatnya membela petani, membela kehidupan pedesaan, dan memastikan pedesaan berkembang untuk generasi mendatang. Perjuangan untuk kelangsungan hidup pedesaan dimulai sekarang!

Sumber

Reananda Hidayat
Reananda Hidayat Permono is an experienced Business Editor with a degree in Economics from a Completed Master’s Degree from Curtin University, Perth Australia. He is over 9 years of expertise in business journalism. Known for his analytical insight and thorough reporting, Reananda has covered key economic developments across Southeast Asia. Currently with Agen BRILink dan BRI, he is committed to delivering in-depth, accurate business news and guiding a team focused on high-quality financial and market reporting.