Yascha Mounk’s buku baru “The Identity Trap: A Story of Ideas and Power in Our Time” hadir di titik krusial bagi liberalisme Amerika. Dalam karya yang tepat waktu dan tajam ini, Mounk menghadapi gelombang politik identitas yang sedang naik daun, menelusuri evolusinya dari gerakan untuk keadilan dan kesetaraan menjadi kekuatan pemecah belah yang mengancam akan memecah belah tatanan liberal yang pernah ingin disempurnakannya.

Inti dari argumen Mounk adalah kritik yang lebih mendalam terhadap liberalisme kontemporer — kritik yang mencerminkan pergeseran ideologis yang lebih besar, yang saya sebut “liberalisme gnostik.” Mutasi dalam pemikiran liberal ini telah membentuk kembali lanskap politik Amerika, melepaskan liberalisme dari prinsip-prinsip inti kebebasan individu dan pluralisme, dan mengarahkannya kembali ke visi radikal transformasi masyarakat.

Diagnosis Mounk tentang politik identitas menyoroti berbagai cara gerakan tersebut menyimpang dari tujuan awalnya. Awalnya difokuskan pada pencapaian kesetaraan hukum dan perbaikan ketidakadilan historis, politik identitas kini telah berubah menjadi ideologi yang memprioritaskan identitas kelompok di atas individu dan mereduksi legitimasi politik menjadi pengalaman pribadi.

Pergeseran ini, menurut Mounk, merusak prinsip-prinsip universal yang telah lama mendefinisikan tradisi liberal — prinsip-prinsip seperti kesetaraan di bawah hukum dan nilai moral setiap individu, terlepas dari afiliasi kelompok. Sebagai gantinya, politik identitas menggantikan pandangan dunia yang menghargai pengalaman subjektif dan mengadu identitas yang bersaing satu sama lain dalam perjuangan tanpa akhir untuk mendapatkan pengakuan dan kekuasaan.

Di sinilah kritik Mounk bersinggungan dengan konsep liberalisme gnostik. Istilah “gnostik” mengingatkan kita pada ajaran sesat kuno yang menyatakan bahwa pengetahuan rahasia (pengetahuan dalam bahasa Yunani) dipandang sebagai kunci untuk melampaui dunia material dan mewujudkan pembebasan spiritual.

Dalam konteks liberalisme modern, dorongan gnostik ini terwujud sebagai kepercayaan pada otonomi radikal diri — gagasan bahwa individu, yang tidak terbebani oleh tradisi, biologi, atau norma sosial, memiliki hak kedaulatan untuk menentukan identitas dan realitas mereka sendiri. Catatan Mounk tentang politik identitas dengan sempurna menangkap pergeseran ini menuju apa yang mungkin disebut “diri kedaulatan kekaisaran”.

Liberalisme gnostik ini, sebagaimana ditunjukkan Mounk, menuntut agar identitas pribadi sepenuhnya dibangun sendiri, terbebas dari kendala eksternal seperti struktur sosial yang diwarisi, tradisi moral, dan realitas biologis.

Dalam bentuk liberalisme sebelumnya, otonomi individu diredakan oleh pengakuan akan keterbatasan manusia dan kebutuhan akan kerangka moral bersama. Namun dalam dunia politik identitas, keterbatasan ini ditolak. Identitas dengan demikian menjadi konstruksi yang tidak terikat dan cair. Kritik Mounk menyoroti bagaimana pergeseran ini memecah-belah lanskap politik dan melemahkan kemungkinan nilai-nilai bersama, yang mengarah pada masyarakat yang semakin terpolarisasi di mana titik temu sulit dipahami.

Salah satu aspek yang paling menarik dari analisis Mounk adalah telaahnya terhadap visi utopis yang mendorong politik identitas. Seperti yang ia catat, apa yang dimulai sebagai pencarian kesetaraan telah berubah menjadi gerakan radikal yang berupaya membangun kembali masyarakat sepenuhnya — mencabut setiap bentuk penindasan, hierarki, dan tradisi yang dianggap ada dalam upaya mencapai kesetaraan dan keadilan yang sempurna. Hal ini menggemakan aliran gnostik dalam liberalisme modern, di mana masyarakat ideal dipandang tidak hanya dapat dicapai tetapi juga tidak dapat dihindari, jika saja pelopor yang tepat dapat menggunakan kekuatan yang cukup untuk mewujudkannya.

Kritik Mounk menyoroti perluasan kekuasaan negara yang menyertai utopianisme ini. Dalam kerangka politik identitas, negara dipandang sebagai satu-satunya instrumen yang mampu mencapai jenis transformasi radikal yang dibayangkan oleh liberalisme gnostik. Baik melalui undang-undang yang memberlakukan standar keadilan yang kaku atau kebijakan yang mengatur ucapan dan perilaku untuk mencegah pelanggaran, negara bertugas menegakkan tatanan moral baru — tatanan yang menjungkirbalikkan komitmen liberal tradisional terhadap pemerintahan yang terbatas, hak-hak individu, dan supremasi hukum.

Peringatan Mounk jelas: Ini bukan sekadar kasus perluasan kekuasaan pemerintah, tetapi sebuah pemikiran ulang mendasar mengenai peran negara dalam masyarakat.

Yang membuat kritik Mounk begitu penting adalah pengakuannya bahwa politik identitas bukan sekadar tren politik, tetapi proyek ideologis yang berakar pada kepercayaan gnostik bahwa masyarakat dapat disempurnakan jika hanya orang-orang yang tepat — mereka yang memiliki pengetahuan rahasia tentang penindasan — yang diberi kekuasaan. Analisis Mounk selaras dengan kritik konservatif sebelumnya terhadap utopianisme, seperti kritik Eric Voegelin konsep “mengimanentasikan eskaton” di mana gerakan politik bertujuan untuk menciptakan surga di bumi melalui transformasi radikal.

“The Identity Trap” tidak hanya sekadar mendiagnosis masalah. Mounk juga menawarkan jalan ke depan, yang berupaya untuk merebut kembali prinsip-prinsip inti liberalisme. Ia menyerukan kembalinya universalisme yang pernah mendefinisikan proyek liberal, di mana warga negara diperlakukan sebagai individu dengan nilai yang melekat, bukan sebagai anggota kelompok identitas tertentu. Visi liberalisme Mounk adalah visi yang menekankan pentingnya kohesi sosial, nilai-nilai bersama, dan perlindungan terhadap kebebasan berekspresi, bahkan ketika ekspresi tersebut menantang ortodoksi politik identitas yang berlaku.

Namun solusi Mounk, meski patut dipuji, mungkin dianggap terlalu optimis oleh sebagian pembaca. Mengingat dominasi budaya politik identitas, merebut kembali prinsip-prinsip ini tampaknya merupakan tugas yang sangat berat. Cengkeraman ideologis liberalisme Gnostik pada dunia akademis, media, dan bahkan perusahaan-perusahaan Amerika menunjukkan bahwa jalan kembali ke liberalisme yang lebih seimbang tidak akan mudah.

Namun, seruan Mounk untuk bertindak merupakan sesuatu yang perlu, yang mengingatkan kita bahwa liberalisme bukanlah doktrin statis, tetapi tradisi hidup yang harus dipertahankan dan direvitalisasi jika ingin bertahan menghadapi distorsi saat ini.

Baik bagi kaum konservatif maupun liberal klasik, karya Mounk berfungsi sebagai peringatan sekaligus ajakan untuk bertindak — mengingatkan kita bahwa masa depan demokrasi liberal bergantung pada kemampuan kita untuk menolak godaan utopianisme dan merebut kembali nilai-nilai yang pernah menjadikan liberalisme sebagai kekuatan untuk kebaikan.

Andrew Latham adalah seorang profesor hubungan internasional di Macalester College di Saint Paul, Minn., seorang peneliti senior di Institute for Peace and Diplomacy, dan seorang peneliti nonresiden di Defense Priorities di Washington, DC.



Juliana Ribeiro
Juliana Ribeiro is an accomplished News Reporter and Editor with a degree in Journalism from University of São Paulo. With more than 6 years of experience in international news reporting, Juliana has covered significant global events across Latin America, Europe, and Asia. Renowned for her investigative skills and balanced reporting, she now leads news coverage at Agen BRILink dan BRI, where she is dedicated to delivering accurate, impactful stories to inform and engage readers worldwide.