Di dunia di mana antisemitisme melampaui batas dan menyamar sebagai wacana kritis, kampus akademis telah menjadi medan pertempuran yang berbahaya. Orang-orang Yahudi di seluruh dunia, khususnya di Diaspora, menghadapi kebencian, boikot, dan ancaman setiap hari. Dunia akademis, yang seharusnya melambangkan keterbukaan dan dialog yang saling menghormati, dalam banyak kasus telah berubah menjadi arena di mana kebencian dilegitimasi.
Kasus yang meresahkan di Universitas Columbia menjadi peringatan keras. Seorang profesor yang memuji serangan brutal Hamas – yang menyebabkan kematian lebih dari 1.200 warga Israel – diizinkan untuk mengajar kursus tentang Zionisme. Bagaimana orang seperti ini bisa dipercaya untuk mengajarkan sejarah orang Yahudi? Keputusan ini bukan hanya merupakan penghinaan moral namun juga merupakan bukti adanya distorsi etika yang mendalam dan tidak bertanggung jawabnya kepemimpinan lembaga tersebut.
Ini bukanlah kejadian yang terisolasi. Laporan terbaru dari Liga Anti-Pencemaran Nama Baik mengungkapkan peningkatan tajam aktivitas anti-Israel dan antisemit di institusi akademis. Antara Juni 2023 dan Mei 2024, terdapat 2.087 insiden anti-Israel yang terdokumentasi, termasuk 28 serangan fisik – peningkatan yang mengejutkan sebesar 477% dibandingkan tahun sebelumnya.
Universitas Columbia memimpin daftar dengan 52 insiden, diikuti oleh Universitas Michigan, Universitas Harvard, UC Berkeley, dan UCLA. Peristiwa-peristiwa ini – mulai dari vandalisme hingga pelecehan, protes, dan kampanye divestasi – menyoroti lingkungan yang tidak bersahabat yang harus ditanggung oleh para pelajar Yahudi.
Institusi-institusi akademis, yang seharusnya berfungsi sebagai panutan bagi nilai-nilai universal seperti toleransi dan kesetaraan, sebagian besar telah gagal menerapkan kebijakan melawan antisemitisme secara efektif.
Keheningan Institusional Tidak Bisa Dijawab
Dengan tercatatnya sejumlah insiden vandalisme, pelecehan, dan bahkan serangan fisik, keheningan institusional memberikan pesan yang jelas: Bukan saja tidak ada hukuman, namun juga tidak ada keinginan untuk menghadapi masalah yang semakin berkembang ini. Pengabaian ini merupakan pengkhianatan terhadap tugas mendasar institusi untuk melindungi semua siswa dan memastikan lingkungan akademik yang aman.
Kenyataan ini tidak bisa dibiarkan begitu saja. Mereka yang dipercaya untuk menciptakan ruang aman bagi semua siswa harus menyadari bahwa ekspresi keprihatinan atau kecaman saja tidak cukup. Diperlukan perubahan mendasar.
Bekerja sama dengan Organisasi Zionis Dunia dan CAMERA on Campus, kami menyelenggarakan konferensi pertama di Israel, yang bertujuan untuk mendorong institusi akademis untuk mengadopsi definisi kerja antisemitisme dari International Holocaust Remembrance Alliance. Definisi ini, yang telah didukung oleh lebih dari 1.600 institusi di seluruh dunia, memberikan kerangka kerja yang jelas untuk mengidentifikasi dan memerangi antisemitisme di kampus.
Daripada membahas kenyataan pahit di mana para profesor memuji teroris dan mendukung tindakan teror, para pemimpin universitas memilih untuk menyebut upaya untuk mengatasi masalah ini sebagai “perburuan penyihir” dan “McCarthyisme.” Para kritikus bahkan menyatakan bahwa tindakan-tindakan ini melanggar hak-hak dasar, mengancam kebebasan akademis, dan membahayakan kedudukan institusi pendidikan tinggi secara global.
Mari kita tegaskan: Kebebasan berekspresi tidak sama dengan kebebasan untuk menghasut kebencian, dan mendukung teror bukanlah hak akademis.
Sementara mahasiswa Yahudi dan Israel merasa tidak aman di kampus dan tentara IDF – banyak di antaranya adalah mahasiswa – mengorbankan hidup mereka untuk negara, beberapa memilih untuk membela dosen yang mengagung-agungkan musuh negara dan menentang hak keberadaan negara.
Antisemitisme tidak hilang dengan sendirinya – ia menyebar dan semakin intensif, mengubah wacana global menjadi alat untuk menyulut api kolektif. Laporan-laporan yang menuduh Israel melakukan pogrom dan genosida menunjukkan bagaimana kebencian tidak hanya memutarbalikkan narasi namun juga memungkinkan para korban untuk disalahkan.
Misalnya saja, kejadian-kejadian baru-baru ini di Amsterdam menunjukkan individu-individu Yahudi diserang di jalan-jalan oleh massa yang melanggar hukum – namun alih-alih mengutuk kekerasan tersebut, wacana media malah menyalahkan para korban, menuduh mereka “memprovokasi” serangan-serangan tersebut. Hal ini tidak lain adalah kebalikan dari nilai-nilai moral: Korban menjadi terdakwa, dan kekerasan terhadap mereka dilegitimasi.
Wacana global sedang berubah, seiring dengan standar moral yang dimaksudkan untuk melindungi hak-hak dasar. Alih-alih menyebut antisemitisme – sebuah kekuatan berbahaya yang memicu kebencian dan kekerasan – kita malah menemukan narasi yang menyelubungi kebencian ini dalam istilah seperti “hak asasi manusia” atau “kritik yang sah.” Ini adalah penipuan terbuka yang dirancang untuk mengaburkan kebenaran dan melemahkan hak masyarakat Yahudi untuk hidup aman.
Jika kita gagal bertindak sekarang, kita akan dihadapkan pada kenyataan di mana orang-orang Yahudi takut mengungkapkan identitas mereka secara terbuka. Mahasiswa akan ragu untuk masuk kampus, dan dunia akademis, alih-alih menjadi tempat ilmu pengetahuan dan inklusi, malah menjadi ruang di mana kebencian dibolehkan dengan kedok kebebasan berpendapat.
Kami menentang gelombang kebohongan, hasutan, dan antisemitisme. Sekaranglah waktunya untuk bertindak tegas, menetapkan batasan, dan memastikan bahwa distorsi moral ini berakhir di sini. Bagi dunia akademis di mana orang-orang Yahudi tidak aman adalah dunia akademis yang kehilangan arah.
Penulis adalah ketua Persatuan Nasional Mahasiswa Israel.