Bismillah hirohman.

“Dialah Yang Pertama (tidak ada yang sebelum Dia) dan Yang Akhir (tidak ada yang setelah Dia), Yang Maha Tinggi (tidak ada yang lebih tinggi dari Dia). Dan Dia Maha Mengetahui segala sesuatu.” Surat Al-Hadid, Al-Qur’an 57:3. Dalam Islam, tauhid adalah keyakinan mendasar akan keesaan Allah SWT. Ini adalah landasan teologi Islam, dan memahami maknanya sangatlah penting dalam praktik Islam.

Tauhid bukan sekedar ketuhanan yang esa, melainkan keyakinan akan keesaan, keunikan, dan kedaulatan-Nya yang mutlak. Tauhid mengacu pada keyakinan akan keesaan Allah SWT. Yaitu keyakinan bahwa tidak ada Tuhan selain Allah, dan hanya Dialah Pencipta alam semesta, Pemelihara dan Penguasa. Tauhid juga mencakup keyakinan akan keunikan dan transendensi Allah yang mutlak, yang melampaui pemahaman dan perbandingan manusia.

Tauhid adalah landasan agama kita, Al-Islam, keyakinan dan amalannya. Ini adalah rukun Islam yang pertama dan terpenting, yang tanpanya tidak ada rukun lain yang dianggap sah di sisi Allah (SWT). Ini menekankan keesaan Allah (SWT) dan kesetaraan semua orang yang beriman di hadapan-Nya. Dengan demikian, tauhid berfungsi sebagai kekuatan pemersatu tidak hanya di kalangan umat Islam, manusia, tetapi juga di kalangan jin. Tauhid menanamkan tujuan dan makna dalam kehidupan umat Islam, karena tauhid mengakui otoritas dan kedaulatan tertinggi Allah (SWT) dalam semua aspek kehidupan. Tauhid al-rububiyah menanamkan dalam diri kita kesucian keesaan Allah (SWT) dalam arti Ketuhanan, mengakui Allah (SWT) sebagai Pencipta, Pemelihara, dan Pengendali alam semesta.

Tauhid al-Uluhiyyah adalah doktrin yang berbicara tentang keesaan Allah (SWT) dalam hal ibadah, mengakui Allah (SWT) sebagai satu-satunya yang berhak disembah dalam segala bentuk. Tauhid al-Asma wa Sifat mengacu pada keesaan Allah (SWT) dalam hal nama dan sifat karena orang beriman mengakui keunikan nama-nama ini, dan keeksklusifan semua nama dan sifat kepada Allah (SWT).

Tauhid sangat penting dalam pengamalan Islam, karena fakta bahwa tauhid merupakan fondasi dari semua konsep, kepercayaan, dan praktik lain dalam Islam. Kerangka kerjanya membantu umat Islam memahami monoteisme dan terhubung secara mendalam dengan Allah (SWT). Tauhid juga membantu umat Islam menghindari kesyirikan (menyekutukan Allah (SWT), yang dianggap sebagai dosa terbesar yang bisa dilakukan seorang Muslim terhadap Allah (SWT).

Tauhid berkaitan erat dengan semua keyakinan dan praktik Islam sebagaimana ia merupakan landasan agama kita, Islam. Tauhid mendasari shalat, puasa, kenabian, Al-Qur’an, haji dan keyakinan akan hari kiamat sebagai ibadah yang ditujukan hanya kepada Allah SWT. Tauhid berakar pada teologi Islam dan tercermin dalam berbagai ayat Al-Qur’an dan Hadits Nabi (SAW).

Al-Qur’an penuh dengan ayat-ayat yang menekankan keesaan Allah (SWT), yang paling eksplisit dari semua ayat tersebut adalah Surat Al-Ikhlas Al-Qur’an 112:1-4, “Katakanlah (wahai Muhammad (SAW) ‘Dialah yang Allah (yang) Esa. Allah-us-Samad (Allah-Tuhan Yang Maha Esa, Yang dibutuhkan semua makhluk, (Dia tidak makan, tidak minum)). tidak ada yang setara atau sebanding dengan-Nya.” Allah (SWT) lebih lanjut menggambarkan diri-Nya dalam Surat Ghafir Al-Qur’an 40:3, “Yang Maha Pengampun dosa, Yang Maha Penerima taubat, Yang keras siksanya, Yang Maha Pemberi nikmat illa Huwa (tidak ada yang berhak disembah melainkan Dia), hanya kepada-Nya kembali yang terakhir.”

Tashahhud dalam pernyataan kesaksian keimanan bahwa “tidak ada yang berhak disembah kecuali Allah” dengan tegas menunjuk pada konsep tauhid.

Nabi (SAW) juga diriwayatkan (dalam Sunah Ibnu Majah) mengatakan, “Yang terbaik dari apa yang saya dan para nabi sebelum saya katakan adalah: ‘Tidak ada Tuhan selain Allah, dan hanya Dia yang berhak disembah.”

Konsep tauhid mengecualikan komitmen manusia kepada selain Allah (SWT). Juga, penolakan terhadap semua sumber nilai selain kehendak Allah (SWT), semua otoritas kecuali milik-Nya, dan penolakan untuk menerima gagasan, perintah, atau perintah apa pun dari siapa pun, seperti yang diterima manusia dari Allah (SWT), atas dasar karena itu tidak datang dari-Nya. Cinta atau hormat, ibadah atau ketundukan, dan rasa kewajiban, semuanya diarahkan hanya kepada Allah SWT dan tidak ada orang lain yang pantas mendapatkannya dalam arti yang utuh dan utuh dari sikap-sikap ini. Dalam konteks kemanusiaan, ini berarti emansipasi dan pemulihan kebebasan esensial manusia dari segala belenggu komitmen kepada Allah (SWT). Umat ​​Muslim tidak berkewajiban untuk tunduk pada otoritas mana pun atau menuruti kehendak siapa pun. Umat ​​Islam tidak berutang apa pun kepada makhluk lain selain Allah SWT.

Baca Juga: Tinubu Ungkap Kesedihan atas Tragedi Pasar Malam Ibadan

Tidak terbayangkan bagi siapa pun yang mengaku Muslim mengingkari konsep keesaan Allah (SWT). Bagi seorang Muslim, keimanan terhadap keesaan Allah (SWT) adalah sebuah aksiomatik, dan tidak diperlukan argumen apa pun. Sebagaimana Al-Qur’an yang Agung dan Mulia bukan hanya sekedar kitab petunjuk bagi orang-orang yang bertakwa, orang-orang yang bertakwa kepada Allah SWT, namun juga menjadi petunjuk bagi umat manusia pada umumnya. Al-Qur’an yang Mulia berisi ratusan argumen untuk mengesankan Keesaan Allah (SWT). Allah (SWT) bersaksi dalam surat Al-Baqarah, Q. 2:163, “Dan Ilahmu (Tuhan) adalah Ilah yang Esa (Tuhan-Allah), La ilaha illa Huwa (tidak ada yang berhak disembah kecuali Dia ), Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang.” Kesatuan-Nya dalam Pribadi-Nya berarti bahwa tidak ada pluralitas tuhan, maupun pluralitas pribadi dalam ketuhanan. Kesatuan sifat-Nya menyiratkan bahwa tidak ada makhluk lain yang memiliki satu atau lebih sifat-sifat Ilahi dalam kesempurnaan. Keesaannya dalam bekerja menyiratkan bahwa tidak seorang pun dapat melakukan pekerjaan yang telah dilakukan Allah (SWT), atau yang mungkin Dia lakukan.

Sifat Allah (SWT) ditunjukkan dalam beberapa kata sehingga kita dapat memahaminya. Sifat-sifat Allah (SWT) dijelaskan dalam berbagai konteks pemikiran dalam Al-Qur’an. Orang-orang beriman secara khusus diajarkan untuk menghindari jebakan-jebakan yang telah dialami oleh manusia dan bangsa-bangsa pada berbagai waktu ketika mencoba memahami Allah (SWT). Hal pertama yang perlu diperhatikan adalah bahwa sifat-Nya begitu agung, jauh melampaui pemahaman kita yang terbatas, sehingga cara terbaik untuk menyadari Dia adalah dengan merasakan bahwa Allah (SWT) adalah Yang Maha Kuasa. Dia ada di dekat kita; Dia peduli pada kita; kita berutang keberadaan kita kepada Allah (SWT).

Sumber

Wisye Ananda
Wisye Ananda Patma Ariani is a skilled World News Editor with a degree in International Relations from Completed bachelor degree from UNIKA Semarang and extensive experience reporting on global affairs. With over 10 years in journalism, Wisye has covered major international events across Asia, Europe, and the Middle East. Currently with Agen BRILink dan BRI, she is dedicated to delivering accurate, insightful news and leading a team committed to impactful, globally focused storytelling.